IBNU AL – MUQAFFA ( 720 – 756 M )
Ibn al –
Muqaffa adalah penulis Arab yang berasal dari Persia. Dialah yang pertama kali
melakukan penerjemahan dalam sejarah dan sastra Arab, baik dari segi isi maupun
dari gaya ungkapnya. Penerjemahan itu mengakibatkan dua hal yang sangat penting
: yaitu pindahnya bangsa Arab dari kehidupan bergaya Badui kepada kehidupan
Modern dan keterlibatan orang bukan Arab dalam bidang penulisan sastra Arab.
Para pengikut
nasionalisme yang menganggap bangsa bukan Arab lebih unggul dari bangsa Arab,
telah gagal memberikan kesan bahwa kedudukan bahasa Arab sangat rendah. Mereka
juga mengakui bahwa bahasa Al – quran milik orang muslim (apapun bahasa asli
mereka) dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat Islam. Akan
tetapi, mereka menolak bahwa kaidah – kaidah bahasa Arab didasarkan atas apa
yang dipakai oleh orang Arab badui. Karena tidak ada sama sekali bukti yang
memperkuatnya, misalnya seorang penyair yang bersal dari mereka. Jeleknya,
orang badui malah dijadikan penghujat bagi masalah yang muncul dalam bahasa.
Bukti yang paling nyata, menurut mereka, adalah adanya penulis atau pelajar
yang mengatakan bahwa dirinya telah berbicara seperti halnya orang badui.
Meskipun demikian, kehidupan umat-khususnya sejak awal kekhalifahan Abbasiyah telah
jauh dari kehidupan badui. Orang – orang yang berpengaruh dalam daulah itu,
sebagian besar berasal dari Persia, tidak merasakan adanya hubungan emosional
dengan kehidupan Arab, bahkan watak, nilai – nilai etika dan estetika pun
berbeda. Orang – orang dinasti Abbasiyah, berkat kemampuan mereka sendiri,
mampu berbicara seperti halnya orang badui. Akan tetapi, mereka tidak pernah
mengisi pikiran mereka yang modern dan kaya itu dengan gaya ungkap bahasa lama.
Oleh sebab itu meski diadakan perubahan yang sangat mendasar bagi model
ungkapan bahasa Arab. Bahasa Arab harus dikembangkan sesuai perubahan yang
terjadi dkehidupan umat. Itulah salah satu perubahan yang mungkin saja
menyangkut pemikiran dan makna yang belum pernah terbertik dalam pikiran bangsa
Arab terdahulu. Ibn Al – Muqaffa adalah pakar dalam bidang yang satu ini. Dia
menyisihkan bahasa Arab kuno, dan membangun gaya ungkap bahasa arab yang benar,
mudah dan sederhana yang dapat mengungkapkan makna dan muatan katanya. Dia
mengadakan revolusi besar besaran dalam bahasa Badui kuno, berikut kosakata
yang sesuai dengan dunia modern. Dia melakukan penyederhanaan ( langsung kepada
maksud ), penyusunan gramatikal yang jelas, selain menghindari pemakaian kata
yang mengandung banyak arti, mengatur struktur pembicaraan, menghilangkan
bentuk ungkapan takjub dan permintaan tolong serta memilih kata yang mudah
dipahami dan menghindari setiap musykil yang terdapat dalam bahasa orang badui.
Ibn Al –
Muqaffa berpendapat bahwa peniruan terhadap orang – orang terdahulu menjadi
batu penghalang yang besar dalam perkembangan pemakaian ungkap baru. Karena itu
dia memilih gaya ungkap yang bagus dan menarik, jelas, mudah dipahami dan
gampang disampaikan. Dia menghindarkan diri dari tabiat kasar dan rumit orang –
orang arab kuno, kemudian menggantinya dengan bahasa – bahaswa yang mudah,
teratur dan jelas. Gaya bahasanya biasa, tetapi mudah dipahami. Dengan cepat,
gaya bahasa Ibn Al – Muqaffa diikuti oleh banyak orang dan dipakai dalam dunia
sastra oleh para sarjana, penulis di dunia Islam.
Kerena pendidikan Ibn Al – Muqaffa banyak diperoleh dari Persia, dia sendiri
sangat condong kepada Persia dan ingin menghidupkan umatnya dengan menyebarkan
sastra, politik dan sejarah mereka, maka tidak aneh bila buku – buku Ibn Al –
Muqaffa adalah buku yang mula – mula dipengaruhi oleh sastra asing, dengan
memperluas makna dan konsepnya.
Dia banyak
menerjemahkan buku dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa dialah yang pertama kali menyerukan penyatuan pemikiran
yang tumbuh dari kerja sama, tanggung jawab, dan saling pengertian antar
generasi, lintas waktu, diantara umat timur yang bermacam – macam. Hal yang
sama kemudian direalisasikan oleh peradaban Islam dengan sangat baik setelah
dia tiada yaitu, ketika peradaban Islam mulai hidup, kuat, dan sangat
berpengaruh dalam kehidupan berbagai umat dan bangsa.
Keelokan hasil
terjemahannya dapat dikatakan belum pernah ada pada jaman sebelum ataupun
sesudahnya yang mampu menerjemahkan karya sastra kedalam bahasa Arab, yang
tidak sama sekali bahwa karya sastra itu berasal dari bahasa Asing. Karya
terjemahannya pertanda bahwa kedalaman bahasa Arab mudah dicerna dan enak
dibaca.
Buku penting
yng dia terjemahkan ialah Kalilah dan daminah yang mampu memasuki ruang kesadaran
bangsa Arab dan mampu mempengaruhi pikiran mereka, sebuah kemampuan yang tidak
dimiliki oleh buku – buku lainnya, selain Al – Quran dan buku Alf Laylah wa
laylah. Buku itu di cetak berkali kali di dunia Arab sejak cetakan pertama
hingga jaman kita sekarang ini. Di beberapa Negara, buku ini dijadikan sebagai
buku wajib di sekolah, sehingga tidak ada satupun cendikiawan atau pelajar yang
belum pernah menelaah atau membaca buku itu, sebagian atau keseluruhannya.
Buku kalilah
dan daminah telah diterjemahkan kedalam lebih dari dua puluh bahasa. Semuanya
kebanyakan diterjemahkan dari terjemahan dari bahasa Arab yang dilakukan oleh
Ibn Al – Muqaffa. Banyak penulis yang sangat terpengaruh oleh ghaya sastra arab
karena mengikuti Ibn Al – Muqaffa, baik dari segi gaya ungkap maupun cara
mengkritik kondisi politik dan ketimpangan social pada masa itu, saat kebebasan
mengungkapkan pendapat sudah tidak ada tempatnya.
Ibn Al –
Muqaffa menginginkan agar dirinya memiliki kesempatan untuk mengungkapkan
kondisi social politik yang bobrok pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan cara
membandingkannya dengan tatanan politik yang sangat bagus di Persia.
Pemikirannya yang asli ini banyak membawa hasil yang baik. Dialah orang yang
pertama kali menjelaskan bahwa kemuliaan Akhlak kadang kala datang dari
pemikiran dan filsapat, selain datang dari agama. Menurut pendapatnya, orang –
orang yang berakhlak, tingkah lakunya pasti sesuai dengan agama dan filsapat
dia sangat bangga bahwa dia berakhlak karena berfilsafat ansich. Jika seseorang
mau melakukan perbuatan yang mulia, pasti dirinya akan mencapai derajat yang
tinggi dan terhormat. Kalaulah perbuatan mulia itu tidak dianjurkan oleh agama,
manusia tetap harus melakukan perbuatan yang mulia.
Ibn Al –
Muqaffa adalah cendikiawan yang beradab, bukan seorang ahli agama atau ulama.
Jikapun tulisannya menyinggung persoalan berbicara tentang akhlak, dia memberi
penjelasan dan uraian secara rasional saja. Hamper tidak pernah mempertahankan
pendapatnya dengan memakai dalil dari ayat al – Quran ataupun hadist.
Ibn Al –
Muqaffa dihukum mati pada saat khalifah Al – Manshur, karena dituduh ‘Zindiq’.
Ada juga yang mengatakan bahwa dihukum mati akibat suratnya yang dikirim kepada
khalifah yang dikenal dengan nama ‘ Risalah al shahabah’. Surat itu mengkritik
tatanan hukum yang berlaku saat itu, selain menunjukan jalan keluar untuk
memperbaiki tatanan yang abruk itu. Dia dijatuhi hukuman mati ketika berusia 36
tahun. Masih muda.
***Ibn
al-Muqaffa bukan ahli hukum (fikih atau usul fikih). Oleh karena itu, nama
beliau dalam sejarah fikih atau hukum Islam jarang sekali (untuk mengatakan
tidak pernah) ditulis sebagai penghargaan terhadap gagasannya. Beliau adalah
"politisi" yang ditandai dengan jabatannya sebagai sekretaris
Gubernur Kirman. Beliau dikenal sebagai sosok yang cerdas dan responsif yang
sangat besar perhatiannya terhadap perbaikan (islah) masyarakatnya.
Karena
kecerdasan tersebut, Ibn al-Muqaffa pernah diminta oleh khalifah Abu Ja‘far
al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas) untuk menyusun konsep perjanjian
damai antara khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan dengan saudaranya, Abdullah
Ibn Ali, yang melakukan makar (pemberontakan). Tetapi dalam "draft"
perjanjian tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang menyinggung
khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Abu Ja‘far al-Mansur marah dan curiga
terhadap Ibn al-Muqaffa dan menuduhnya sebagai pendukung pemberontak. Karena
murka, Abu Ja‘far al-Mansur memerintahkan kepada Gubernur Kirman keatika itu,
Sufyan Ibn Mu‘awiyah al-Muhalibi, untuk memecat Ibn al-Muqaffa dari jabatannya
sebagai sekretaris gubernur, sekaligus menjatuhkan hukuman mati terhadapnya
karena ia dianggap sebagai pemberontak. Hukuman mati dijalaninya pada tahun 139
H/756 M.
Ibn al-Muqaffa
dikenal sebagai ulama yang kritis dan cerdas dalam memperhatikan praktek hukum
yang hidup dan berkembang pada zamannya. Ibn Muqaffa mencetuskan gagasan taqnin
al-ahkam berkaitan dengan "kesenjangan" hukum dengan putusan hakim
yang terjadi pada zamannya. Idenya dituangkan dalam Risalah al-Sahabat; surat
tersebut kemudian diterbitkan dengan judul Rasa’il al-Bulaga setelah diedit
oleh Ibn Taifur. Secara garis besar, risalah itu berisi tentang kritik dan
saran perbaikan hukum dalam empat bidang: militer, peradilan, rekrutmen pegawai
pembantu khalifah, dan pajak tanah (al-kharaj). Selain itu, ia pun memberikan
saran kepada khalifah. Kritik yang paling banyak dialamatkan pada militer.
Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada militer adalah:
Seharusnya
dibuat peraturan perundang-undangan khusus mengenai prajurit tentang apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan peraturan, prajurit akan
mengetahui mana yang halal dan mana yang haram dilakukan. Hal ini berkaitan
dengan doktrin militer ketika itu yang menyatakan bahwa "kalau amir
al-mu’minin (khalifah) menginstruksikan agar salat membelakangi Ka’bah, pasti
instruksi tersebut akan didengar dan ditaati.
Seharusnya
dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang "pemisahan"
administrasi militer dan administrasi keuangan pemerintahan. Hal ini berkaitan
dengan militer yang ditugaskan di daerah yang dinyatakan dalam status
"darurat militer" yang mengambil alih sistem keuangan di daerah
tersebut dengan bertindak arogan. Padahal tugas utamanya adalah mengamankan
daerah, bukan mengambil alih keuangannya.
Jabatan panglima dan komandan
militer hendaknya dipegang oleh prajurit yang terbaik atas dasar prestasi
(bukan atas dasar yang lain).
Prajurit
hendaknya dibekali ilmu pengetahuan dan agama, khususnya berkaitan dengan moral
(akhlak), amanah (accountable), iffah (terpelihara dari perbuatan-perbuatan
tercela), rendah hati (tawadu), dan kesederhanaan.
Seharusnya prajurut mendapatkan
imbalan (baik berupa gaji maupun honor) tepat waktu, agar dapat menjalankan
tugas dengan baik dan semangat.
Khalifah seharusnya selalu
memperhatikan fisik dan mental prajurit; sehingga ia dapat memberikan bantuan
pada saat yang tepat dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kritik dan
saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan peradilan berkaitan dengan
"kepastian hukum." Ibn al-Muqaffa menyarankan agar khalifah menyusun
peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim di
pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Peraturan dapat menjamin
kepastian hokum sepanjang ia dapat mengikuti perubahan zaman. Secara implisit,
Ibn al-Muqaffa memberikan ruang kepada khalifah dan hakim untuk melakukan
ijtihad demi tereliminirnya "kesenjangan" antara hukum dalam ide
(maqasid) dan hukum dalam teks peraturan perundang-undangan. Kritik ini
berkaitan dengan ragamnya putusan hakim karena tidak ada pedoman keputusan yang
disepakati.
Kritik dan
saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan rekruitmen pegawai berkaitan
dengan kriteria dan profesionalisme pegawai. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar
pegawai yang diangkat untuk menjadi para pembantu khalifah harus memiliki
standar atau kriterai tertentu; calon pegawai haruslah adil, amanah, dan
berasal dari keturunan orang baik-baik. Pegawai seharusnya dibebani tugas yang
jelas (fokus), dan tidak dibenarkan memegang banyak pekerjaan (seperti rangkap
jabatan).
Kritik dan
saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan pajak tanah berkaitan dengan
administrasi pertanahan. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar administrasi tanah
ditertibkan; terutama berkaitan dengan pajak dan batas-batas kepemilikan tanah.
Kejelasan aturan administrasi dan pajak tanah serta batas-batas tanah akan
memudahkan pegawai pemungut pajak dan petugas yang menyalahgunakan
kewenangannya agar diberi sanksi.
Ibn al-Muqaffa juga meyarankan kepada para khalifah agar benar-benar menjadi
suri tauladan (uswah hasanah) bagi masyarakat. Saran ini tentu saja berkaitan
dengan moralitas para khalifah Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah yang
cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai dan mempertahaknkan kekuasaan;
dan di antara mereka dianggap jauh dari nilai-nilai agama dalam kehidupan
sehari-hari.
Ketika Ibn
al-Muqaffa masih hidup, gagasannya yang tertuang dalam kitab Risalat al-Sahabah
yang kemudian diterbitkan juga dengan judul Risalat al-Bulaga, tidak mendapat
perhatian dari para aparat hukum ketika itu. Apalagi, akhir hayat Ibn
al-Muqaffa dilalui dengan tragis; ia dituduh sebagai pemberontak dan karenanya
ia dipecat (dari sekretaris gubernur) dan dihukum mati.
Setelah
Ibn al-Muqaffa meninggal, sebagian mujtahid merasa perlu mempertimbangkan
gagasan Ibn al-Muqaffa, terutama yang berkaitan dengan "kodifikasi"
hukum. Hal yang sama juga dirasakan oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Oleh
karena itu, ketika menunaikan ibadah haji (tahun 163 H/760 M), kira-kira empat
belas tahun setelah kematian Ibn al-Muqaffa, Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur
dengan sengaja menemui Imam Malik guna memintanya menyusun sebuah kitab fikih
dengan menetapkan hukum dari sumber-sumber primer, dengan mempertimbangkan
prinsip kemudahan dalam melaksanakan hukum. Ketika itu Khalifah Abu
Ja‘far al-Mansur meminta Imam Malik agar memilih pendapat yang sederhana,
menengah, dan disepakati oleh para sahabat sehingga buku itu dapat dijadikan
pegangan di seluruh negeri.
Menanggapi
permintaan khalifah Abu Ja‘far al-Mansur, Imam Malik menjawab dengan mengatakan
bahwa sesungguhnya penduduk Irak tidak menerima pendapatnya, bahkan penduduk
Irak menganggap bahwa pendapatnya tidak benar (salah). Jawaban ini
mengisyaratkan akan keberatan Imam Malik untuk melakukan kodifikasi hukum.
Khalifah Abu
Ja‘far al-Mansur menanggapi jawaban Imam Malik dengan mengatakan bahwa beliau
akan menjamin hukum yang sudah dikodifikasi nanti untuk diberlakukan di seluruh
negeri; hakim yang tidak mau menerapkannya akan berhadapan dengan hukuman
khalifah. Pada musim haji tahun depan, lanjut Abu Ja‘far al-Mansur, akan
diutus al-Mahdi (pengganti khalifah Abu Ja‘far al-Mansur berikutnya) untuk
mendatangi Imam Malik yang telah menyiapkan buku tersebut yang bernama
al-Muwatta. Gagasan Ibn al-Muqaffa juga kemdian dipraktekan oleh Kerajaan Turki
Usmani yang telah melakukan kodifikasi hukum yang kemudian dinamai Majallat
al-Ahkam al-Adliyyah.
Khalifah yang
telah memvonis Ibn al-Muqaffa sebagai pemberontak dan menjatuhi hukuman mati
terhadapnya, ternyata masih memerlukan gagasannya. Khalifah Abu Ja‘far
al-Mansurlah yang menuduh beliau "bersekongkol" dengan pemberontak;
karenanya ia dipecat dari jabatannya dan dihukum mati; dan Khalifah Abu Ja‘far
al-Mansur pula yang meminta Imam Malik untuk mengimplementasikan gagasan Ibn
al-Muqaffa. Ini bukti bahwa gagasan atau pemikiran tetap dihargai, meskipun
penggagasnya belum tentu dihargai.
KALILAH WA DIMNAH.
Hikayat
pancatantra (lima cerita fabel/dongeng perumpamaan yang digubah dalam bentuk
cerita berbingkai) dalam versi Arab, terjemahan seorang sastrawan muslim
kenamaan, Ibnu al-Muqaffa. Buku ini mengandung pelajaran dan nilai-nilai akhlak
yang tinggi. Sebagian besar ajaran tersebut diungkapkan dalam bentuk dialog
antara sesama binatang yang menjadi tokoh-tokohnya.
Kalilah dan
Dimnah adalah dua ekor anak serigala yang menjadi tokoh utama dalam cerita
pertama. Mereka pintar dan bijaksana. Nama kedua tokoh telah berubah. Dalam
buku aslinya yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, keduanya bernama Karataka dan
Damanaka. Dalam terjemahan bahasa Suriah kuno menjadi Kalilag dan Damnag.
Karya asli
hikayat ini terdiri dari lima cerita, yaitu “Hikayat Singa dan Lembu”, “Hikayat
Burung Tekukur”, “Hikayat Burung Hantu dan Burung Gagak”, “Hikayat Kera dan
Buaya”, dan “Hikayat Seorang Alim dan Istrinya”. Kelima hikayat ini ditulis
oleh seorang brahmana bernama Baidaba. Kemudian atas perintah Raja Khusraw
Anusyirwan (531-579) dari Dinasti Sasanid, Barzawaih (sastrawan Persia
nonmulism) menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia (Iran) dengan menambahkan
beberapa judul cerita. Tiga di antaranya dikutip dari kitab Mahabharata
XXI. Selebihnya adalah karyanya sendiri, antara lain berjudul “Pendahuluan”,
“Tabib Barzawaih”, “Seorang Alim dan Tamunya”, “Sebuah Kaca dan Seorang
Brahmana”, “Seorang Pelancong dan Tukang Emas”, serta “Anak Seorang Raja dan
Kawan-kawannya”. Karya Barzawaih diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqaffa ke dalam
bahasa Arab dengan menambahkan lagi sembilan judul tulisannya sendiri.
Dalam pengantarnya,
Ibnu al-Muqaffa menguraikan latar belakang Baidaba menulis karya ini. Setalh
ditaklukkan oleh raja Macedonia, Alexander Agung, India diperintah oleh seorang
raja yang zalim. Karena merasa prihatin terhadap penderitaan rakyat, Baidaba
menghadap raja dan menasihatkan agar ia bersikap adil dan bertindak manusiawi.
Raja murka lalu memenjarakannya. Namun raja kemudian menyesali tindakannya.
Sebagai gantinya, Baidaba diangkat menjadi wazir (perdana menteri)-nya setelah
ia dibebaskan. Baidaba memerintah dengan adil, sehingga membuat raja kagum.
Lalu raja memintanya untuk menulis buku pedoman dalam hal pemerintahan. Oleh
karena itu, secara keseluruhan tema tulisannya adalah nasihat-nasihat kepada
penguasa dalam memerintah rakyat, dengan bahasa yang ringkas dan jelas.
Karya ini
pertama kali diterbitkan di Paris pada tahun 1816 dan di Mesir pada tahun 1248
H yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1249 H dan 1251 H. Salah satu versi
naskah diterbitkan oleh Louis Syaikhu (penerbit buku-buku sastra) di Beirut
pada tahun 1904 dan dicetak ulang pada tahun 1908, 1922, 1923, dan 1960. Versi
lainnya diterbitkan oleh Muhammad Hasan Na’il (penulis dan penerbit buku-buku
sastra) di Cairo pada tahun 1912, 1927, dan 1934. Sementara itu pada tahun 1941
Dr. Abdul Wahhab (sastrawan Arab) menerbitkan satu versi yang lebih tua.
Selanjutnya, karya ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain
bahasa Yunani, bahasa Spanyol, bahasa Turki, bahasa Italia, bahasa Rusia,
bahasa Inggris, bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Latin.
Karya Ibnu
al-Muqaffa ini berpengaruh besar dalam sejarah perkembangan kesusastraan Islam,
baik dalam bahasa Arab, Persia, Turki, maupun Urdu. Sejak itu gaya penulisan
prosa yang menggunakan dialog dan kehidupan binatang sebagai latar belakangnya
tumbuh dan berkembang membawa pesan yang bertujuan memperbaiki perilaku manusia
dengan semangat dan nilai-nilai keislaman.
Pada zaman
Khalifah al-Ma’mun, Sahl bin Harun (sastrawan Arab) menulis cerita dengan judul
Anak Serigala dan Menjangan dan pada masa Harun ar-Rasyid, Ali bin
Daud (sastrawan Arab) menulis cerita dengan judul Macan dan Musang. Abu
al-Ala’ al-Ma’arri (w. 499 H/1059 M; penyair Arab yang termahsyur) juga menulis
beberapa judul, di antaranya al-Qaif. Penulisan dengan gaya tersebut juga
dijumpai dalam karya sastra Arab modern. Ahmad Syauqi, bapak sastra Arab
modern, menulis asy-Syauqiyyat (yang memuat syari Ahmad Syauqi) yang
diterbitkan pertama kali pada tahun 1898. Ibrahim al-Arabi (sastrawan Arab)
juga menulis prosa dengan judul Adab al’Arab (Sastra Arab) yang
diterbitkan pada tahun 1911 dan 1913.
Demikian sobat sekalian biografi singkat Ibnu Muqaffa. Semoga bermanfaat :)