Pages

Saturday, July 23, 2016

Analisis Syair Ritsa Al-Khansa

     Halo sobat Surya el Darma sekalian, pada kesempatan kali ini Surya akan membagikan hasil tugas kuliah Surya tentang analisis syair Arab, yaitu Syair Ritsa (kesedihan) dari Al-Khansa. Semoga bermanfaat dan jangan lupa komentarnya ya :)

      Sinopsis dan Terjemahan Syair Al-Khansa
Syair Ritsa’ ini merupakan murni karya Al-Khansa sendiri. Syair ini terdiri dari 28 bait, namun pada kajian ini kami hanya menganalisa 6 bait saja. Syair Ritsa ini berisi mengenai “Ratapan” sang penyair terhadap kematian Sakhr saudaranya, sekaligus menjadi pelajaran bagi seluruh umat manusia bahwa kematian akan menemui kita suatu saat nanti, dan mereka yang kita cintai akan kembali pada sang ilahi rabbi. Jika kita baca secara menyeluruh, makna yang terkandung dalam syair tersebut sungguh luar biasa, karena maknanya menyentuh hati pembaca. Syair ini merupakan syair ritsa dikenal dengan istilah elegi, yaitu sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung, karena kematian saudaranya. Secara singkat, ritsa dalam sastra Arab diartikan sebagai syair ratapan. Syair ini biasanya digunakan sebagai ungkapan belasungkawa atas kejadian yang menyedihkan.
يا عَينُ فِيضِى بدمعٍ منكِ مِغْزار         وابكى لصخر بدمعٍ منك مدرارِ
Wahai mata, kucurkanlah air matamu dengan deras
Tangisilah Sakhr dengan deraian air matamu
إنى أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة             كأنّما كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
Kutumpahkan (air mata) dan kulalui malam tanpa tidur
Seakan-akan mataku bercelak kebutaan
أرْعى النجومَ وما كلّفتُ رِعْيَتَها          وتارة أتغشّى فضْلَ أطمارى
Kuawasi bintang-bintang, meski tak seharusnya aku lakukan
Kadang (dengan) itu aku  melupakan semua kemalanganku
وقد سمعتُ فلم أبهج به خبرا            مُخَبّرا قام ينمى رجعَ أخبار
Aku telah mendengar berita itu yang semakin berkembang cepat,
Dan aku tak senang mendengarnya
قال ابنُ أمِّك ثاوٍ بالضريح وقد          سوّوا عليه بألواحٍ وأحجارِ
Anak laki-laki ibumu  berkata, istirahatlah dalam kubur dan
Mereka telah meratakannya dengan papan dan batu
فاذهب فلا يُبْعدنك الله من رجلٍ       منَّاعِ ضَيْمٍ وطلاّبٍ بأوتار[1]
Pergilah, Allah tidak akan pernah menjauhkanmu dari laki-laki
Yang selalu membela orang yang tertindas dan  menuntut balas (dendam)

       Analisis Matan Makna dalam Syair Ar-Ritsa Karya Al-Khansa
1.      Analisis Makna Kata
يا عَينُ فِيضِى بدمعٍ منكِ مِغْزار         وابكى لصخر بدمعٍ منك مدرارِ
يا (Wahai) merupakan ungkapan tuntutan atau pengharapan yang dilakukan oleh Al-Khansa, عَينُ (mata) salah satu dari sekian banyak anggota tubuh yang diharapkan oleh Al-Khansa, فِيضِى  (kucurkanlah) lafazd fi’il amar yang merupakan tuntutan terhadap matanya. بدمعٍ منكِ (air matamu) sesuatu yang dihasilkan oleh mata karena peristiwa yang menyedihkan atau mengharukan, مِغْزار (dengan deras) keadaan air mata yang keluar karena peristiwa sangat menyedihkan, وابكى (Tangisilah) yaitu tuntutan atau perintah, لصخر (Sakhr) nama daripada saudara Al-Khansa, (air matamu) sesuatu yang dihasilkan oleh mata karna peristiwa yang menyedihkan atau mengharukan, مدرارِ (deraian) keaadan air mata yang keluar secara terus menerus tanpa henti.
إنى أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة             كأنّما كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
              إنى (sesungguhnya aku) merupakan lafadz taukid yang dinyatakan oleh Al-Khansa, أرِقْتُ (Kutumpahkan) merupakan ungkapan penyair sebagai aku, فبتُّ (kulalui) yaitu perbuatan yang dilakukan oleh sang penyair pada saat itu, الليلَ (malam) peristiwa atau kalimat yang menujuki kepada masa (zaman), ساهرة (tanpa tidur) keadaan atau hal yang dilakukan oleh penyair pada saat itu. كأنّما (Seakan-akan) merupakan lafadz yang berandai-andai (pengharapan), عَينى (mataku) salah satu anggota badan pada penyair yaitu Al-Khansa, كُحِلَتْ (bercelak)  بعُوّار ( kebutaan) keadaan matanya yang disebabkan kesedihan.
أرْعى النجومَ وما كلّفتُ رِعْيَتَها          وتارة أتغشّى فضْلَ أطمارى
 أرْعى (Kuawasi) ungkapan tokoh aku yaitu Al-Khansa, النجومَ (bintang-bintang) salah satu benda langit yang muncul hanya pada malam hari, وما كلّفتُ رِعْيَتَها (meski tak seharusnya aku lakukan) merupakan ungkapan penafian (peniadaan) perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan oleh penyair yaitu Al-Khansa. وتارة أتغشّ (Kadang (dengan) itu aku  melupakan) ini merupakan ungkapan penyair yang mrupakan tokoh aku beranggapan dengan perbuatan yang dia lakukan dapat menghilangkan kesedihannya,  فضْلَ أطمارى (semua kemalanganku) ini salah satu dari sekian banyak musibah yang menimpa si penyair.
وقد سمعتُ فلم أبهج به خبرا            مُخَبّرا قام ينمى رجعَ أخبار 
   وقد سمعتُ (Aku telah mendengar) lafadz dari pada fi’il madhi yang menunjuki kepada masa yang telah terjadi yaitu apa yang didengarkan oleh penyair, خبرا  (berita )kejadian (peristiwa) yang menimpa saudara dari si penyair yaitu peristiwa kematian Sakhr,  فلم أبهج به (dan aku tak senang mendengarnya) pada lafadz ini penyair tidak suka atau senang mendengar kejadian yang menimpa saudaranya yang ditunjuki dengan adanya jazam,  مُخَبّرا (pembawa berita) ini merupakan bentuk lafadz isim fa’il yaitu orang yang menyampaikn berita kematian saudaranya al-Khansa, قام ينمى رجعَ أخبار (yang telah semakin berkembang cepat), proses berita kematian  yang menimpa Sakhr berkembang sangat cepat sehingga sampai ke pendengar si penyair (al-Khansa).
قال ابنُ أمِّك ثاوٍ بالضريح وقد          سوّوا عليه بألواحٍ وأحجارِ
قال ابنُ أمِّك  (Anak laki-laki ibumu  berkata, )pada kalimat ini penyair al-Khansa menjelaskan bahwa  saudara kandung dari sakhr yang se-ibu dengannya berkata padanya, ثاوٍ بالضريح  (istirahatlah dalam kubur ) ungkapan tersebut menunjukkan tempat dimana jasad si sakhr dikuburkan. Dan وقدسوّوا عليه (Mereka telah meratakannya) قد apabila dibarengi oleh lafadz fiil madhi maka bermakna sungguh telah meratakan.  بألواحٍ وأحجارِ (Dengan papan dan batu ) pada lafadz ini menunjukkan pada kuburnya (sakhr) yang telah diratakan oleh papan-papan dan batu-batu sebagaimana adat-istiadat ketika pemakaman dilakukan di tanah arab pada masa itu hingga sekarang.
فاذهب فلا يُبْعدنك الله من رجلٍ       منَّاعِ ضَيْمٍ وطلاّبٍ بأوتار
   فاذهب (Pergilah) pada lafadz ini menjelaskan bahwa saudara kandung Sakhr mencoba mengikhlaskan kepergian Sakhr. فلا  (maka tidak) pada lafadz ini terdapat huruf (ف) sebagai jawab syarat dari (ف) sebelumnya, kemudian setelahnya terdapat juga huruf nafi (ل), yang bermakna “tidak akan”  يُبْعدنك الله(Allah tidak akan pernah menjauhkanmu) pada lafadz ini menjelaskan bahwa saudara laki-laki Sakhr mengatakan kepadanya bahwa Allah sangat mencintai pemuda.   اللهini merupakan lafzatullah/lafadz jalalah, yang menjelaskan bahwa Allahlah sang pencipta  من رجلٍ(dari laki-laki) pada lafadz ini menjelaskan bahwa saudaranya al-Khansa si Sakhr seorang laki-laki yang tidak akan Allah menjauhinya karena akhlaknya yang baik yang dijelaskan oleh kalimat setelahnya. منَّاعِ ضَيْمٍ  (Yang selalu membela orang yang tertindas) pada kalimat ini menjelaskan bahwa semasa hidupnya Sakhr melakukan perbuatan yang mulia yaitu menjaga kazaliman dengan membela orang-orang yang tertindas.  وطلاّبٍ بأوتار (dan  menuntut balas dendam) dan pada teks ini menunjuki kepada perbuatan mulia pula yang telah dilakukan oleh Sakhr semasa hidupnya dengan ada (و) sebagai ‘ataf dari kalimat sebelumnya.

2.      Analisis Balaghah
Analisis Balaghah
·         التشبيه[2]
إنى أرِقْتُ فبتُّ الليلَ ساهرة             كأنّما كُحِلَتْ عَينى بعُوّار
Kutumpahkan (air mata) dan kulalui malam tanpa tidur
Seakan-akan mataku bercelak kebutaan
            Pada bait kedua ini mengandung makna majazi yang terdiri dari adatut tasybih, musyabbah bihi, dan wajhu syabah. Penyair al-Khansa’ meluapkan perasaan sedihnya akan kepergian saudaranya sehingga ia merasa  hidupnya telah kelam,suram dan tiada lagi bermakna.
·         الجناس[3]
وقد سمعتُ فلم أبهج به خبرا            مُخَبّرا قام ينمى رجعَ أخبار
Aku telah mendengar berita itu yang semakin berkembang cepat,
Dan aku tak senang mendengarnya
Pada bait diatas terdapat  jinas ghairu at-tam naqis yaitu antara kata خبرا dan أخبار. Kedua kata tersebut lafadznya hampir serupa tapi berbeda maknanya, sehingga termasuk ke dalam kriteria jinas seperti yang telah disebutkan diatas.

3.      Analisis Makna Hikmah
a.       Duka dalam hidup
            Setiap manusia akan melewati beberapa fase dalam kehidupan, salah satunya adalah suka dan duka dalam hidup. Yang mana setiap rupa yang kita cintai baik itu sabahat, keluarga, dan yang lainnya suatu waktu ia akan pergi. Oleh karena itu, kita harus lebih banyak bersabar dalam melewati kehidupan ini.
b.      Kematian
            Setiap manusia akan menemui ajalnya atau kematian. Karena ajal/mati merupakan janji Allah dan itu pasti akan terjadi. Kendati demikian sepatutnya bagi kita harus banyak bersabar ketika sosok yang kita cintai telah pergi jauh dari dunia ini. Biarkan semua pergi tanpa sedih yang berkepanjangan sehingga menjadikan hidup kita suram dan tiada bermakna.
c.       Ikhlas
Setiap yang datang ia pasti akan pergi, setiap yang hidup ia akan mati. Semua itu merupakan drama kehidupan yang telah Allah atur dalam kuasanya untuk para manusia agar ia (Allah) bisa melihat sejauh mana hambaNya mampu bersabar dan ikhlas dalam menjalani kehidupan ini.



[1] Abd al-Salam al-Haufi, Diwan al-Khansa, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985), h. 46
[2] Fahmi Sofyan, Ilmu Al-Balaghah At-Tathbiqi (Al-Bayan- Al-Ma’ani-Al-Badi’), (Banda Aceh: Lhee Sagoe Press, 2015), h. 31
[3] Fahmi Sofyan, Ilmu Al-Balaghah At-Tathbiqi (Al-Bayan- Al-Ma’ani-Al-Badi’), (Banda Aceh: Lhee Sagoe Press, 2015), h. 166

Thursday, July 21, 2016

BIOGRAFI IBNU AL-MUQAFFA (PENYAIR ARAB MASA ABBBASIYAH)

IBNU AL – MUQAFFA ( 720 – 756 M )

Ibn al – Muqaffa adalah penulis Arab yang berasal dari Persia. Dialah yang pertama kali melakukan penerjemahan dalam sejarah dan sastra Arab, baik dari segi isi maupun dari gaya ungkapnya. Penerjemahan itu mengakibatkan dua hal yang sangat penting : yaitu pindahnya bangsa Arab dari kehidupan bergaya Badui kepada kehidupan Modern dan keterlibatan orang bukan Arab dalam bidang penulisan sastra Arab.
Para pengikut nasionalisme yang menganggap bangsa bukan Arab lebih unggul dari bangsa Arab, telah gagal memberikan kesan bahwa kedudukan bahasa Arab sangat rendah. Mereka juga mengakui bahwa bahasa Al – quran milik orang muslim (apapun bahasa asli mereka) dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakikat Islam. Akan tetapi, mereka menolak bahwa kaidah – kaidah bahasa Arab didasarkan atas apa yang dipakai oleh orang Arab badui. Karena tidak ada sama sekali bukti yang memperkuatnya, misalnya seorang penyair yang bersal dari mereka. Jeleknya, orang badui malah dijadikan penghujat bagi masalah yang muncul dalam bahasa. Bukti yang paling nyata, menurut mereka, adalah adanya penulis atau pelajar yang mengatakan bahwa dirinya telah berbicara seperti halnya orang badui. Meskipun demikian, kehidupan umat-khususnya sejak awal kekhalifahan Abbasiyah telah jauh dari kehidupan badui. Orang – orang yang berpengaruh dalam daulah itu, sebagian besar berasal dari Persia, tidak merasakan adanya hubungan emosional dengan kehidupan Arab, bahkan watak, nilai – nilai etika dan estetika pun berbeda. Orang – orang dinasti Abbasiyah, berkat kemampuan mereka sendiri, mampu berbicara seperti halnya orang badui. Akan tetapi, mereka tidak pernah mengisi pikiran mereka yang modern dan kaya itu dengan gaya ungkap bahasa lama. Oleh sebab itu meski diadakan perubahan yang sangat mendasar bagi model ungkapan bahasa Arab. Bahasa Arab harus dikembangkan sesuai perubahan yang terjadi dkehidupan umat. Itulah salah satu perubahan yang mungkin saja menyangkut pemikiran dan makna yang belum pernah terbertik dalam pikiran bangsa Arab terdahulu. Ibn Al – Muqaffa adalah pakar dalam bidang yang satu ini. Dia menyisihkan bahasa Arab kuno, dan membangun gaya ungkap bahasa arab yang benar, mudah dan sederhana yang dapat mengungkapkan makna dan muatan katanya. Dia mengadakan revolusi besar besaran dalam bahasa Badui kuno, berikut kosakata yang sesuai dengan dunia modern. Dia melakukan penyederhanaan ( langsung kepada maksud ), penyusunan gramatikal yang jelas, selain menghindari pemakaian kata yang mengandung banyak arti, mengatur struktur pembicaraan, menghilangkan bentuk ungkapan takjub dan permintaan tolong serta memilih kata yang mudah dipahami dan menghindari setiap musykil yang terdapat dalam bahasa orang badui.
Ibn Al – Muqaffa berpendapat bahwa peniruan terhadap orang – orang terdahulu menjadi batu penghalang yang besar dalam perkembangan pemakaian ungkap baru. Karena itu dia memilih gaya ungkap yang bagus dan menarik, jelas, mudah dipahami dan gampang disampaikan. Dia menghindarkan diri dari tabiat kasar dan rumit orang – orang arab kuno, kemudian menggantinya dengan bahasa – bahaswa yang mudah, teratur dan jelas. Gaya bahasanya biasa, tetapi mudah dipahami. Dengan cepat, gaya bahasa Ibn Al – Muqaffa diikuti oleh banyak orang dan dipakai dalam dunia sastra oleh para sarjana, penulis di dunia Islam.
Kerena pendidikan Ibn Al – Muqaffa banyak diperoleh dari Persia, dia sendiri sangat condong kepada Persia dan ingin menghidupkan umatnya dengan menyebarkan sastra, politik dan sejarah mereka, maka tidak aneh bila buku – buku Ibn Al – Muqaffa adalah buku yang mula – mula dipengaruhi oleh sastra asing, dengan memperluas makna dan konsepnya.
Dia banyak menerjemahkan buku dari bahasa Persia kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dialah yang pertama kali menyerukan penyatuan pemikiran yang tumbuh dari kerja sama, tanggung jawab, dan saling pengertian antar generasi, lintas waktu, diantara umat timur yang bermacam – macam. Hal yang sama kemudian direalisasikan oleh peradaban Islam dengan sangat baik setelah dia tiada yaitu, ketika peradaban Islam mulai hidup, kuat, dan sangat berpengaruh dalam kehidupan berbagai umat dan bangsa.
Keelokan hasil terjemahannya dapat dikatakan belum pernah ada pada jaman sebelum ataupun sesudahnya yang mampu menerjemahkan karya sastra kedalam bahasa Arab, yang tidak sama sekali bahwa karya sastra itu berasal dari bahasa Asing. Karya terjemahannya pertanda bahwa kedalaman bahasa Arab mudah dicerna dan enak dibaca.
Buku penting yng dia terjemahkan ialah Kalilah dan daminah yang mampu memasuki ruang kesadaran bangsa Arab dan mampu mempengaruhi pikiran mereka, sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh buku – buku lainnya, selain Al – Quran dan buku Alf Laylah wa laylah. Buku itu di cetak berkali kali di dunia Arab sejak cetakan pertama hingga jaman kita sekarang ini. Di beberapa Negara, buku ini dijadikan sebagai buku wajib di sekolah, sehingga tidak ada satupun cendikiawan atau pelajar yang belum pernah menelaah atau membaca buku itu, sebagian atau keseluruhannya.
Buku kalilah dan daminah telah diterjemahkan kedalam lebih dari dua puluh bahasa. Semuanya kebanyakan diterjemahkan dari terjemahan dari bahasa Arab yang dilakukan oleh Ibn Al – Muqaffa. Banyak penulis yang sangat terpengaruh oleh ghaya sastra arab karena mengikuti Ibn Al – Muqaffa, baik dari segi gaya ungkap maupun cara mengkritik kondisi politik dan ketimpangan social pada masa itu, saat kebebasan mengungkapkan pendapat sudah tidak ada tempatnya.
Ibn Al – Muqaffa menginginkan agar dirinya memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kondisi social politik yang bobrok pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan cara membandingkannya dengan tatanan politik yang sangat bagus di Persia. Pemikirannya yang asli ini banyak membawa hasil yang baik. Dialah orang yang pertama kali menjelaskan bahwa kemuliaan Akhlak kadang kala datang dari pemikiran dan filsapat, selain datang dari agama. Menurut pendapatnya, orang – orang yang berakhlak, tingkah lakunya pasti sesuai dengan agama dan filsapat dia sangat bangga bahwa dia berakhlak karena berfilsafat ansich. Jika seseorang mau melakukan perbuatan yang mulia, pasti dirinya akan mencapai derajat yang tinggi dan terhormat. Kalaulah perbuatan mulia itu tidak dianjurkan oleh agama, manusia tetap harus melakukan perbuatan yang mulia.
Ibn Al – Muqaffa adalah cendikiawan yang beradab, bukan seorang ahli agama atau ulama. Jikapun tulisannya menyinggung persoalan berbicara tentang akhlak, dia memberi penjelasan dan uraian secara rasional saja. Hamper tidak pernah mempertahankan pendapatnya dengan memakai dalil dari ayat al – Quran ataupun hadist.
Ibn Al – Muqaffa dihukum mati pada saat khalifah Al – Manshur, karena dituduh ‘Zindiq’. Ada juga yang mengatakan bahwa dihukum mati akibat suratnya yang dikirim kepada khalifah yang dikenal dengan nama ‘ Risalah al shahabah’. Surat itu mengkritik tatanan hukum yang berlaku saat itu, selain menunjukan jalan keluar untuk memperbaiki tatanan yang abruk itu. Dia dijatuhi hukuman mati ketika berusia 36 tahun. Masih muda.

***Ibn al-Muqaffa bukan ahli hukum (fikih atau usul fikih). Oleh karena itu, nama beliau dalam sejarah fikih atau hukum Islam jarang sekali (untuk mengatakan tidak pernah) ditulis sebagai penghargaan terhadap gagasannya. Beliau adalah "politisi" yang ditandai dengan jabatannya sebagai sekretaris Gubernur Kirman. Beliau dikenal sebagai sosok yang cerdas dan responsif yang sangat besar perhatiannya terhadap perbaikan (islah) masyarakatnya.
Karena kecerdasan tersebut, Ibn al-Muqaffa pernah diminta oleh khalifah Abu Ja‘far al-Mansur (khalifah kedua Dinasti Bani Abbas) untuk menyusun konsep perjanjian damai antara khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan dengan saudaranya, Abdullah Ibn Ali, yang melakukan makar (pemberontakan). Tetapi dalam "draft" perjanjian tersebut terdapat pernyataan-pernyataan yang menyinggung  khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Abu Ja‘far al-Mansur marah dan  curiga terhadap Ibn al-Muqaffa dan menuduhnya sebagai pendukung pemberontak. Karena murka, Abu Ja‘far al-Mansur memerintahkan kepada Gubernur Kirman keatika itu, Sufyan Ibn Mu‘awiyah al-Muhalibi, untuk memecat Ibn al-Muqaffa dari jabatannya sebagai sekretaris gubernur, sekaligus menjatuhkan hukuman mati terhadapnya karena ia dianggap sebagai pemberontak. Hukuman mati dijalaninya pada tahun 139 H/756 M.
Ibn al-Muqaffa dikenal sebagai ulama yang kritis dan cerdas dalam memperhatikan praktek hukum yang hidup dan berkembang pada zamannya. Ibn Muqaffa mencetuskan gagasan taqnin al-ahkam berkaitan dengan "kesenjangan" hukum dengan putusan hakim yang terjadi pada zamannya. Idenya dituangkan dalam Risalah al-Sahabat; surat tersebut kemudian diterbitkan dengan judul Rasa’il al-Bulaga setelah diedit oleh Ibn Taifur. Secara garis besar, risalah itu berisi tentang kritik dan saran perbaikan hukum dalam empat bidang: militer, peradilan, rekrutmen pegawai pembantu khalifah, dan pajak tanah (al-kharaj). Selain itu, ia pun memberikan saran kepada khalifah. Kritik yang paling banyak dialamatkan pada militer. Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada militer adalah:
Seharusnya dibuat peraturan perundang-undangan khusus mengenai prajurit tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan peraturan, prajurit akan mengetahui mana yang halal dan mana yang haram dilakukan. Hal ini berkaitan dengan doktrin militer ketika itu yang menyatakan bahwa "kalau amir al-mu’minin (khalifah) menginstruksikan agar salat membelakangi Ka’bah, pasti instruksi tersebut akan didengar dan ditaati.
Seharusnya dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang "pemisahan" administrasi militer dan administrasi keuangan pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan militer yang ditugaskan di daerah yang dinyatakan dalam status "darurat militer" yang mengambil alih sistem keuangan di daerah tersebut dengan bertindak arogan. Padahal tugas utamanya adalah mengamankan daerah, bukan mengambil alih keuangannya.
Jabatan panglima dan komandan militer hendaknya dipegang oleh prajurit yang terbaik atas dasar prestasi (bukan atas dasar yang lain).
Prajurit hendaknya dibekali ilmu pengetahuan dan agama, khususnya berkaitan dengan moral (akhlak), amanah (accountable), iffah (terpelihara dari perbuatan-perbuatan tercela), rendah hati (tawadu), dan kesederhanaan.
Seharusnya prajurut mendapatkan imbalan (baik berupa gaji maupun honor) tepat waktu, agar dapat menjalankan tugas dengan baik dan semangat.
Khalifah seharusnya selalu memperhatikan fisik dan mental prajurit; sehingga ia dapat memberikan bantuan pada saat yang tepat dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan peradilan berkaitan dengan "kepastian hukum." Ibn al-Muqaffa menyarankan agar khalifah menyusun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pedoman bagi para hakim di pengadilan-pengadilan dalam menyelesaikan sengketa. Peraturan dapat menjamin kepastian hokum sepanjang ia dapat mengikuti perubahan zaman. Secara implisit, Ibn al-Muqaffa memberikan ruang kepada khalifah dan hakim untuk melakukan ijtihad demi tereliminirnya "kesenjangan" antara hukum dalam ide (maqasid) dan hukum dalam teks peraturan perundang-undangan. Kritik ini berkaitan dengan ragamnya putusan hakim karena tidak ada pedoman keputusan yang disepakati.
Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan rekruitmen pegawai berkaitan dengan kriteria dan profesionalisme pegawai. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar pegawai yang diangkat untuk menjadi para pembantu khalifah harus memiliki standar atau kriterai tertentu; calon pegawai haruslah adil, amanah, dan berasal dari keturunan orang baik-baik. Pegawai seharusnya dibebani tugas yang jelas (fokus), dan tidak dibenarkan memegang banyak pekerjaan (seperti rangkap jabatan).
Kritik dan saran Ibn al-Muqaffa yang diarahkan pada perbaikan pajak tanah berkaitan dengan administrasi pertanahan. Ibn al-Muqaffa mengusulkan agar administrasi tanah ditertibkan; terutama berkaitan dengan pajak dan batas-batas kepemilikan tanah. Kejelasan aturan administrasi dan pajak tanah serta batas-batas tanah akan memudahkan pegawai pemungut pajak dan petugas yang menyalahgunakan kewenangannya agar diberi sanksi.
Ibn al-Muqaffa juga meyarankan kepada para khalifah agar benar-benar menjadi suri tauladan (uswah hasanah) bagi masyarakat. Saran ini tentu saja berkaitan dengan moralitas para khalifah Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah yang cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai dan mempertahaknkan kekuasaan; dan di antara mereka dianggap jauh dari nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika Ibn al-Muqaffa masih hidup, gagasannya yang tertuang dalam kitab Risalat al-Sahabah yang kemudian diterbitkan juga dengan judul Risalat al-Bulaga, tidak mendapat perhatian dari para aparat hukum ketika itu. Apalagi, akhir hayat Ibn al-Muqaffa dilalui dengan tragis; ia dituduh sebagai pemberontak dan karenanya ia dipecat (dari sekretaris gubernur) dan dihukum mati. 
Setelah  Ibn al-Muqaffa meninggal, sebagian mujtahid merasa perlu mempertimbangkan gagasan Ibn al-Muqaffa, terutama yang berkaitan dengan "kodifikasi" hukum. Hal yang sama juga dirasakan oleh Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur. Oleh karena itu, ketika menunaikan ibadah haji (tahun 163 H/760 M), kira-kira empat belas tahun setelah kematian Ibn al-Muqaffa, Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur dengan sengaja menemui Imam Malik guna memintanya menyusun sebuah kitab fikih dengan menetapkan hukum dari sumber-sumber primer, dengan mempertimbangkan prinsip kemudahan dalam melaksanakan hukum. Ketika itu  Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur meminta Imam Malik agar memilih pendapat yang sederhana, menengah, dan disepakati oleh para sahabat sehingga buku itu dapat dijadikan pegangan di seluruh negeri.
Menanggapi permintaan khalifah Abu Ja‘far al-Mansur, Imam Malik menjawab dengan mengatakan bahwa sesungguhnya penduduk Irak tidak menerima pendapatnya, bahkan penduduk Irak menganggap bahwa pendapatnya tidak benar (salah). Jawaban ini mengisyaratkan akan keberatan Imam Malik untuk melakukan kodifikasi hukum.
Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur menanggapi jawaban Imam Malik dengan mengatakan bahwa beliau akan menjamin hukum yang sudah dikodifikasi nanti untuk diberlakukan di seluruh negeri; hakim yang tidak mau menerapkannya akan berhadapan dengan hukuman khalifah. Pada musim haji tahun depan, lanjut Abu Ja‘far al-Mansur,  akan diutus al-Mahdi (pengganti khalifah Abu Ja‘far al-Mansur berikutnya) untuk mendatangi Imam Malik yang telah menyiapkan buku tersebut yang bernama al-Muwatta. Gagasan Ibn al-Muqaffa juga kemdian dipraktekan oleh Kerajaan Turki Usmani yang telah melakukan kodifikasi hukum yang kemudian dinamai Majallat al-Ahkam al-Adliyyah.
Khalifah yang telah memvonis Ibn al-Muqaffa sebagai pemberontak dan menjatuhi hukuman mati terhadapnya, ternyata masih memerlukan gagasannya. Khalifah Abu Ja‘far al-Mansurlah yang menuduh beliau "bersekongkol" dengan pemberontak; karenanya ia dipecat dari jabatannya dan dihukum mati; dan Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur pula yang meminta Imam Malik untuk mengimplementasikan gagasan Ibn al-Muqaffa. Ini bukti bahwa gagasan atau pemikiran tetap dihargai, meskipun penggagasnya belum tentu dihargai.

KALILAH WA DIMNAH.
Hikayat pancatantra (lima cerita fabel/dongeng perumpamaan yang digubah dalam bentuk cerita berbingkai) dalam versi Arab, terjemahan seorang sastrawan muslim kenamaan, Ibnu al-Muqaffa. Buku ini mengandung pelajaran dan nilai-nilai akhlak yang tinggi. Sebagian besar ajaran tersebut diungkapkan dalam bentuk dialog antara sesama binatang yang menjadi tokoh-tokohnya.                   
Kalilah dan Dimnah adalah dua ekor anak serigala yang menjadi tokoh utama dalam cerita pertama. Mereka pintar dan bijaksana. Nama kedua tokoh telah berubah. Dalam buku aslinya yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, keduanya bernama Karataka dan Damanaka. Dalam terjemahan bahasa Suriah kuno menjadi Kalilag dan Damnag. 
Karya asli hikayat ini terdiri dari lima cerita, yaitu “Hikayat Singa dan Lembu”, “Hikayat Burung Tekukur”, “Hikayat Burung Hantu dan Burung Gagak”, “Hikayat Kera dan Buaya”, dan “Hikayat Seorang Alim dan Istrinya”. Kelima hikayat ini ditulis oleh seorang brahmana bernama Baidaba. Kemudian atas perintah Raja Khusraw Anusyirwan (531-579) dari Dinasti Sasanid, Barzawaih (sastrawan Persia nonmulism) menerjemahkannya ke dalam bahasa Persia (Iran) dengan menambahkan beberapa judul cerita. Tiga di antaranya dikutip dari kitab Mahabharata XXI. Selebihnya adalah karyanya sendiri, antara lain berjudul “Pendahuluan”, “Tabib Barzawaih”, “Seorang Alim dan Tamunya”, “Sebuah Kaca dan Seorang Brahmana”, “Seorang Pelancong dan Tukang Emas”, serta “Anak Seorang Raja dan Kawan-kawannya”. Karya Barzawaih diterjemahkan oleh Ibnu al-Muqaffa ke dalam bahasa Arab dengan menambahkan lagi sembilan judul tulisannya sendiri. 
Dalam pengantarnya, Ibnu al-Muqaffa menguraikan latar belakang Baidaba menulis karya ini. Setalh ditaklukkan oleh raja Macedonia, Alexander Agung, India diperintah oleh seorang raja yang zalim. Karena merasa prihatin terhadap penderitaan rakyat, Baidaba menghadap raja dan menasihatkan agar ia bersikap adil dan bertindak manusiawi. Raja murka lalu memenjarakannya. Namun raja kemudian menyesali tindakannya. Sebagai gantinya, Baidaba diangkat menjadi wazir (perdana menteri)-nya setelah ia dibebaskan. Baidaba memerintah dengan adil, sehingga membuat raja kagum. Lalu raja memintanya untuk menulis buku pedoman dalam hal pemerintahan. Oleh karena itu, secara keseluruhan tema tulisannya adalah nasihat-nasihat kepada penguasa dalam memerintah rakyat, dengan bahasa yang ringkas dan jelas.          
Karya ini pertama kali diterbitkan di Paris pada tahun 1816 dan di Mesir pada tahun 1248 H yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1249 H dan 1251 H. Salah satu versi naskah diterbitkan oleh Louis Syaikhu (penerbit buku-buku sastra) di Beirut pada tahun 1904 dan dicetak ulang pada tahun 1908, 1922, 1923, dan 1960. Versi lainnya diterbitkan oleh Muhammad Hasan Na’il (penulis dan penerbit buku-buku sastra) di Cairo pada tahun 1912, 1927, dan 1934. Sementara itu pada tahun 1941 Dr. Abdul Wahhab (sastrawan Arab) menerbitkan satu versi yang lebih tua. Selanjutnya, karya ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain bahasa Yunani, bahasa Spanyol, bahasa Turki, bahasa Italia, bahasa Rusia, bahasa Inggris, bahasa Melayu, bahasa Jawa, dan bahasa Latin.
Karya Ibnu al-Muqaffa ini berpengaruh besar dalam sejarah perkembangan kesusastraan Islam, baik dalam bahasa Arab, Persia, Turki, maupun Urdu. Sejak itu gaya penulisan prosa yang menggunakan dialog dan kehidupan binatang sebagai latar belakangnya tumbuh dan berkembang membawa pesan yang bertujuan memperbaiki perilaku manusia dengan semangat dan nilai-nilai keislaman.

Pada zaman Khalifah al-Ma’mun, Sahl bin Harun (sastrawan Arab) menulis cerita dengan judul Anak Serigala dan Menjangan dan pada masa Harun ar-Rasyid, Ali bin Daud (sastrawan Arab) menulis cerita dengan judul Macan dan Musang. Abu al-Ala’ al-Ma’arri (w. 499 H/1059 M; penyair Arab yang termahsyur) juga menulis beberapa judul, di antaranya al-Qaif. Penulisan dengan gaya tersebut juga dijumpai dalam karya sastra Arab modern. Ahmad Syauqi, bapak sastra Arab modern, menulis asy-Syauqiyyat (yang memuat syari Ahmad Syauqi) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1898. Ibrahim al-Arabi (sastrawan Arab) juga menulis prosa dengan judul Adab al’Arab (Sastra Arab) yang diterbitkan pada tahun 1911 dan 1913.
Demikian sobat sekalian biografi singkat Ibnu Muqaffa. Semoga bermanfaat :)

Monday, July 11, 2016

JENIS-JENIS KOMPUTER

JENIS-JENIS KOMPUTER

Komputer telah merambah ke berbagai sektor dalam kehidupan kita, tidak saja digunakan oleh orang kantoran, akademisi, mahasiswa, anak-anak pun sudah terbiasa dengan komputer. Secara sederhana, komputer dapat kita definisikan sebagai perangkat elektronik yang menerima input (dapat berupa input dari keyboard, mouse, sidik jari, retina mata, dan lain-lain) kemudian di proses oleh prosesornya dan ditampilkan melalui monitor atau dalam bentuk hardcopy (printer). Pada dasarnya, komputer dibedakan menjadi 4. Yaitu jenis komputer berdasarkan data yang diolah, berdasarkan processor, berdasarkan bentuk fisik, dan berdasarkan penggunaannya. Namun pada tulisan kali ini, kita akan mencoba untuk mengenal komputer berdasarkan data yang di olah. Berikut penjelasannya :
1. Komputer Analog
Analog Computer adalah komputer yang bekerja secara paralel (analog) untuk mengolah data yang sifatnya berkelanjutan (kontinyu), datanya berupa besaran fisik dan angka-angka (kuantitatif) seperti temperatur, tekanan udara, kecepatan angin, arus listrik, gelombang suara, dll. Output komputer analog biasanya berupa pengaturan atau pengendalian (control) sebuah mesin. Komputer ini banyak digunakan pada pengendalian industri kimia, pembangkit listrik, penyulingan minyak, atau rumah sakit untuk memantau denyut jantung.
-Kelebihan Komputer Analog :
a.       Kecocokan dalam pengukuran.
b.      Pengolahan data cepat.
c.       Merupakan special-purpose komputer.
d.      Berdayaguna untuk pengontrolan yang otomatis pada proses-proses industri.
-Kekurangan Komputer Analog :
a.       Dalam  memproses data kurang tepat.
b.      Masih kurang bahkan tidak dapat memproses data berupa angka.
c.       Hanya menyelesaikan suatu masalah yang khusus.
d.      Memiliki komponen yang berlebihan dan banyak hingga disebut rumit.
e.       Tidak terstruktur dan tidak multifungsi.
f.       Daya tenaga yang masuk banyak sementara daya hasil keluaran tidak seimbang/kurang.
Contoh : Amperemeter, Voltmeter, Barometer, Termometer, alat hitung pengukur suhu, alat hitung pengukur kecepatan,  pengukur  arus, pengukur temperature, pengukur tekanan, dll.
 2. Komputer Digital
Digital Computer adalah komputer yang bekerja berdasarkan operasi hitung. Variabel dalam komputer ini dinyatakan dengan angka-angka. Penyelesaian masalah dilakukan dengan proses aritmatik dan logik (kuantitatif). Data dari digital komputer biasanya berupa simbol yang memiliki arti tertentu, misalnya: simbol aphabetis yang digambarkan dengan huruf A s/d Z ataupun a s/d z, simbol numerik yang digambarkan dengan angka 0 s/d 9 ataupun simbol-simbol khusus, seperti halnya: ? / + * & !. Jenis komputer ini biasa digunakan untuk aplikasi bisnis dan teknik.
-Keunggulan dari komputer digital adalah :
a.       Memproses data lebih tepat dibandingkan dengan komputer analog.
b.      Dapat menyimpan data selama masih dibutuhkan oleh proses.
c.       Dapat melakukan operasi logika, yaitu membandingkan dua nilai danmenentukan hasilnya, yaitu membandingkan elemen nilai yang satu lebihkecil atau sama dengan, atau lebih kecil sama dengan, atau tidak samadengan elemen nilai yang kedua.
d.      Data yang telah dimasukkan dapat dikoreksi atau dihapus.
e.       Output dari komputer digital dapat berupa angka, huruf, grafik maupungambar.
Contohnya PC yang banyak digunakan orang, calculator, Apple lle, IBM PC3.
3. Komputer Hybrid
Hybrid Computer  adalah komputer yang bekerja secara kualitatif dan kuantitatif. Komputer ini merupakan gabungan antara komputer analog dan komputer digital. Komputer hybrid merupakan komputer yang bekerja secara kualitatif dan kuantitatif karena merupakan kombinasi antara komputer analog dan komputer digital.
-Kelebihan komputer hybrid :
a.       Komputer ini lebih cepat dari komputer digital dan lebih tepat dari komputer analog.

Contoh dari komputer jenis ini adalah komputer yang digunakan pada robot-robot yang dipakai sebagai pekerja pada pabrik serta digunakan oleh berbagai rumah sakit yang digunakan untuk memeriksa keadaan tubuh dari pasien yang pada akhirnya komputer bisa mengeluarkan berbagai analisa yang disajikan dalam bentuk gambar, grafik ataupun tulisan.