NASIKH MANSUKH
A.
Pengertian Nasikh Mansukh
Menurut
Bahasa
Secara
konsep etimologi yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili nasakh
dapat di artikan sebagaimana berikut :
1. Izalah yang
mengandung arti menghilangkan seperti contoh dalam surat al-Haj Ayat 52.
2. Naqalu yang mempunyai arti
memindahkan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
3. Tabdil yang berarti mengganti atau
menukar seperti contoh dalam surat an-Nahl ayat 101.
4. Tahwil yang berarti memalingkan,
seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang
lain.[1]
lain.[1]
Menurut Istilah
Secara istilah yang pertama adalah suatu pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu
oleh hukum yang ditetapkan kemudian. Kedua dengan pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datangnya
kemudian. Dan yang ketiga Penjelasan yang datang kemudian yang
hanya berlaku bagi hukum-hukum yang samar dan tanpa bersayarat.[2]
B.
Dalil Nasakh
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa
kepada-Nya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah : 106)[3]
“Allah
mengghapus apa yang dia kehendaki dan menetapkan (apa) yang dia kehendaki dan
disisi-Nyalah terdapat Umm al-kitab (Lauh Mahfuz).” (QS .An-Nahl : 101)[4]
C. Syarat-syarat Nasakh
1.
Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2.
Pembatalan itu datang dari tuntutan syara’.
3.
Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan hukum,
seperti
perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakhkan setelah selesai
melaksanakan puasa tersebut.
perintah Allah tentang kewajiban berpuasa, tidak berarti dinasakhkan setelah selesai
melaksanakan puasa tersebut.
4.
Tuntutan yang mengandung nasakh harus
datang kemudian.
D.
Rukun-rukun Nasakh
1. Adat an-nasakh, yaitu pernyataan adanya
pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh, adalah dalil yang kemudian
menghapus hukum yang telah ada.
3. Mansukh, yaitu hukum yang
dibatalkan,dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anhu, yaitu orang yang
dibebani hukum.[5]
E. Beberapa Pendapat
tentang Nasakh dalam Al-Qur’an
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, ada dua konsekwensi yang dimunculkan
oleh fenomena nasakh ini, pertama, bagaimana
mengkompromikan konsekwensi bahwa teks mengalami "perubahan"
melalui nasakh dengan keyakinan umum bahwa teks sudah ada
sejak azali di Lauh al-Mahfuzh. Kedua, problem
pengumpulan al-Qur'an pada masa Khalifah Abu Bakar. Hal ini muncul terkait
dengan contoh-contoh yang dikemukakan oleh ulama dapat menimbulkan kesan bahwa
sebagian dari bagian-bagian teks sudah terlupakan dari ingatan manusia.[6]
Terkait dengan pernyataan di atas, jika kita bicara tentang
implikasi konsep nasakh dalam al-Qur'an, maka tidak terlepas
dari dua fenomena yang dikemukakan di atas. Diantara implikasi terhadap
al-Qur'an yang dapat kita deteksi diantaranya;
Pertama, secara negatif jika nasakh dipahami
sebagai al-izalah atau menghapus maka konsekwensi yang
ditimbulkan adalah hilangnya eternalitas (ke-azali-an) eksistensi
tulisan teks al-Qur'an yang berada di Lauh Mahfuz.[7] Hal
ini mencerminkan bahwa sebenarnya kita harus memahami konsep nasakh dalam
al-Qur'an ini seperti yang telah penulis kemukakan di atas, yakni sebagai
pergantian atau pemindahan dari satu wadah kepada wadah lain, dalam arti bahwa
kesemua ayat al-Qur'an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi.
Kedua, bahwa konsep nasakh dalam
al-Qur'an ini adalah untuk mengingatkan nikmat yang telah Allah berikan dan
juga untuk menghapus kesulitan, karena jika nasakh itu beralih
pada sesuatu yang terasa lebih berat maka disana terdapat tambahan pahala, dan
jika beralih pada sesuatu yang dianggap lebih ringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan.[8] Disini
terlihat bahwa al-Qur'an memang sebagai sebuah kitab petunjuk yang benar bagi
orang-orang yang ingin menjadikannya sebagai petunjuk.
Ketiga, secara umum bahwa adanya nasakh dalam
al-Qur'an ini menunjukkan bahwa al-Qur'an sebagai sebuah kitab dan sumber utama
syariat Islam, adalah merupakan kitab syariat yang paling sempurna yang me-nasakh syariat-syariat
yang datang sebelumnya. Oleh karena itu syariat Islam berlaku untuk setiap
situasi dan kondisi, maka adanya nasakh berfungsi
menjaga kemaslahatan umat.[9]
Keempat, adanya konsep nasakh dalam
al-Qur'an menunjukkan bahwa pe-naskh-an hukum yang pertama (ketentuan
hukum yang di-nasakh) adalah untuk kepentingan suatu hikmah atau suatu
kemaslahatan hingga waktu tertentu. Disamping itu Allah pun mengetahui bahwa
hukum yang kedua (yang me-nasakh hukum yang pertama) ditetapkan
untuk kepentingan suatu hikmah atau kemaslahatan yang lain. Sudah barang tentu
bahwa masalah kemaslahatan dan ketentuan hukum berbeda, sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dihadapi oleh manusia yang memang juga berbeda-beda. Tiap
hukum memiliki dan mengandung hikmahnya tersendiri dan manusia pun memiliki
kemaslahatannya tersendiri, namun yang jelas adanya konsep naskh dalam
al-Qur'an ini berada dalam pengetahuan Allah sejak sebelum manusia, langit dan
bumi diciptakan.[10]
F. Macam macam Nasikh Mansukh
1. Nasakh bacaan (teks) dari suatu ayat
,namun hukumnya tetap berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perempuan
tua yang telah menikah.
2. Nasakh hokum ayat namun teksnya masih
ada ,seperti nasakh keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi
mereka yang akan berbicara dengan nabi.
3. Nasakh hokum dan bacaan ayat sekaligus
,seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh (10) kali.[11]
4. Nasakh sunnah dengan kitab (ayat)
seperti perubahan arah kiblat, yang dahulunya berpusat di Baitul Maqdis kemudian
turun wahyu yang menyuruh berkiblat ke Ka’bah.
5. Nasakh Sunnah dengan Sunnah seperti
hadish Muslim :
“Dahulu saya melarang kamu (perempuan)
untuk menziarahi kubur, tetapi kini ziarahilah” (H.R. Muslim).[12]
6. Ada sebagian ulama berpendapat ada
nasakh Kitab (ayat) dengan Sunnah seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 18 dengan
hadish la washiata liwarisi (H.R. Tirmizi dan Ibnu Majah).[13]
7. Nasakh yang tidak ada gantinya seperti
nasakh keharusan memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan
berbicara dengan nabi.
8. Nasakh yang ada penggantinya, namun
penggantinya tersebut adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat ;
seperti pembatalan shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan 5 kali saja.
G.
Manfaat Mempelajari Nasikh Mansukh
Konsep nasikh dan mansukh sangat
erat kaitannya dengan turunnya al-Qur'an secara bertahap dan juga erat
kaitannya dengan asbab al-nuzul. Sebab secara gamblang dapat
dijelaskan bahwa, haruslah ayat nasikhat yang datang kemudian dari
pada ayat mansukhat, sebab jelas bahwa tidak mungkin sesuatu
yang datang lebih dahulu mengganti sesuatu yang datang kemudian.[14] Selain
itu, kita juga dapat melihat antara masalah nasikh dan mansukh dengan
masalah asbab al-nuzul ada keterkaitan, sebab biasanya Allah
menurunkan atau menerapkan suatu hukum juga melihat kondisi dan situasi
masyarakat pada saat itu, seperti tentang ayat-ayat keharaman khamar.
Dari dua pemahaman di atas, dapat disimpulkan bahwa
al-Qur'an sebagai kitab pendidikan terbesar, melalui konsep nasikh dan mansukh ini
ingin menjelaskan bahwa; pertama, sebenarnya Allah ingin
mengajarkan kepada manusia bahwa dalam mengajarkan atau memberi pelajaran
haruslah dilakukan secara bertahap. Sehingga apa yang diajarkan dapat mengena
kepada siapa yang diajar atau juga ketika memberikan sebuah pemahaman haruslah
secara bertahap.
Selain itu kedua, bahwa sebuah ilmu
pengetahuan itu tidaklah bisa dikatakan abadi dan benar untuk selamanya, sebab
suatu saat ilmu pengetahuan itu akan bisa berubah sesuai dengan perkembangan
dan kondisi zaman, nasikh dan mansukh menggambarkan
bahwa bisa jadi sesuatu hukum yang berlaku pada saat ini mungkin saja tidak
berlaku untuk masa yang akan datang atau dapat terjadi sebaliknya.
Ketiga, dengan nasikh dan mansukh memberikan
pengertian bahwa kita harus mencontoh sifat Allah yakni sang maha pemurah,
sebab adakalanya Allah mengganti hukum sesuatu yang awalnya berat menjadi lebih
ringan. Ini semua tidak lain kecuali ingin menunjukkan kemurahan Allah.[15]
Selain itu keempat, menurut Quraish Shihab bahwa
tentang nasikh dan mansukh ini, sama seperti
obat-obatan yang diberikan oleh dokter pada pasien. Disini hukum-hukum yang
diubah dimisalkan sebagai obat, dan Nabi sebagai dokter. Disatu sisi,
mempersamakan Nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat, memberikan
kesan bahwa Nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut,
sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Pada sisi lain, mempersamakan hukum
yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibubuangnya obat-obat
tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin
masih ada pasien lain yang membutuhkannya.[16]
H. Contoh-contoh Nasakh dalam al-Qur'an
Untuk lebih jelas tentang ayat-ayat apa saja yang nasikh dan mansukh dalam
al-Qur'an, berikut akan kita lihat contoh-contoh yang dikemukaan oleh para
ulama.[17] Diantaranya
;
a. Surah al-Baqarah (2) ayat 115 "
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
disitulah wajah Allah". Di-naskh oleh ayat 44 pada
surah yang sama. ”Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram."
b. Firman Allah: "Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa (al-Baqarah: 180) Dikatakan, ayat ini mansukh oleh
ayat tentang bab kewarisan dan juga oleh hadis:"Sesungguhnya Allah
telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka tidak
ada wasiat bagi orang waris". (H.R. Abu Dawud dan Turmidzi).
c. Firman Allah: ” Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…. (al-Baqarah: 217), ayat
ini di-naskh oleh ayat : "Dan perangilah kaum Musyrikin itu
semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya". (at-Taubah:
36).
d. Firman Allah: "Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah
akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu….(al-Baqarah:
284). Ayat ini di-naskh oleh Firman-Nya: "Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…(al-Baqarah:
286)
Sebenarnya masih ada beberapa ayat al-Qur'an
yang menurut sebagian ulama termasuk dalam kategori naskh, namun
untuk tujuan mempersingkat, maka pada tulisan ini tidak kami sebutkan semua.
[5] . Prof.
DR. Rachmat Syafe’I, MA, USHUL FIQIH, (Bandung:Pustaka
Setia,2007), hal. 240.
[6] . Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2005),
hlm. 141.
[7] . Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas
Al-Qur'an: Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 161.
[8]. Manna' Khalil al-Qattan, Mabahis fi
'Ulum al-Qur'an, (Riyadh: Mansyurat al-'Asr al-Hadis, 1972),
hlm. 296.
[9] . Lihat, Muhammad
Abdul 'Azim al-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz
II (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2004), hlm. 391-392. Lihat juga, Drs.
Supiana, M.Ag, dan M. Karman, M.Ag, Ulumul Qur'an dan Pengenalan
Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 159.
[10] . DR. Suhbi as-Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur'an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999), hlm. 356
[15] .
DR. Suhbi as-Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu al-Qur'an, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999) hlm. 160.
[16] .M. Quraish Shihab. Membumikan
al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Bandung:
Mizan. 2002) hlm. 145.
[17] . Manna' Khalil al-Qattan, Mabahis fi
'Ulum al-Qur'an, (Riyadh: Mansyurat al-'Asr al-Hadis, 1972), hal. 242-244.
0 comments:
Post a Comment