FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN DAN MASA SKOLATIK
A. Sejarah
Filsafat Abad Pertengahan
Sejarah filsafat abad pertengahan
dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17. Para sejarawan umumnya
menentukan tahun 476, yakni masa berakhirnya Kerajaan Romawi Barat yang
berpusat di kota Roma dan munculnya Kerajaan Romawi Timur yang kelak berpusat di
Konstantinopel (sekarang Istanbul), sebagai data awal zaman abad pertengahan
dan tahun 1492 (penemuan benua Amerika oleh Columbus) sebagai data akhirnya.[1]
Masa ini diawali dengan lahirnya
filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh
kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi
oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat abad pertengahan
didominasi oleh agama.
Periode abad pertengahan mempunyai
perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan ini terletak pada
dominasi agama. Timbulnya agama kristen pada permulaan abad masehi membawa
perubahan besar terhadap kepercayaan agama. Zaman pertengahan adalah zaman
keemasan bagi kekristenan.[2]
Disinilah yang menjadi persoalannya, karena agama kristen itu mengajarkan bahwa
wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan
pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh
kemampuan akal.[3]
B. Ciri
Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat Abad Pertengahan dicirikan
dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Dilihat secara
menyeluruh, filsafat abad pertengahan memang merupakan filsafat Kristiani. Oleh
karena itu, kiranya dapat dikatakan bahwa filsafat abad pertengahan adalah
suatu filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.
Mengenai sikap terhadap pemikiran
Yunani ada dua:
a.
Golongan yang menolak sama sekali pemikiran
Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir karena tidak
mengakui wahyu.
b.
Menerima filsafat yunani yang
mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan maka kebijaksanaan manusia
berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat
mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, akal dapat dibantu oleh wahyu.[4]
C. Masa
Skolastik
Secara garis
besar, filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode yaitu Masa
Patristik dan Masa Skolastik. Namun disini kami hanya menjelaskan
filsafat abad pertengahan masa skolastik sebagai tugas makalah kami.
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school,
yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran
atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak khas dari
sejarah filsafat abad pertengahan.
Istilah skolastik pun
berasal dari bahasa latin “scholasticus” yang berarti murid, sebagai suatu
gerakan filsafat dan keagamaan yang berupaya mengadakan sintesa antara akal
budi manusia dengan keimanan. Atau menerapkan metafisika Yunani ke dalam
keyakinan Kristiani. Metode yang digunakan ialah disputatio, yaitu
membandingkan argumentasi diantara yang pro dan kontra.
Terdapat beberapa pengertian dari
corak khas skolastik, yaitu:
a.
Filsafat skolastik adalah filsafat
yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena skolastik ini sebagai bagian
dari kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b.
Filsafat skolastik adalah filsafat
yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan
persoalan-persoalan mengenai berfikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian,
serta baik dan buruk.Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah: skolastik
Yahudi, skolastik Arab dan lain-lainnya.
c.
Filsafat skolastik adalah suatu
sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan
ke dalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
d.
Filsafat skolastik adalah fisafat
Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh gereja.
Adapun filsafat skolastik ini dapat
berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor, yaitu:
Faktor Religius
Faktor
religius dapat mempengaruhi corak pemikiran filsafatnya. Yang dimaksud dengan
faktor religius adalah keadaan lingkungan saat itu yang berperikehidupan
religius. Mereka beranggapan bahwa hidup di dunia ini suatu perjalanan ke tanah
suci Yerusalem. Dunia ini bagaikan negeri asing, dan sebagai tempat pembuangan
limbah air mata saja (tempat kesedihan). Sebagai dunia yang menjadi tanah
airnya adalah surga. Manusia tidak dapat sampai ke tanah airnya (surga) dengan
kemampuannya sendiri, sehingga harus ditolong. Karena manusia itu menurut sifat
kodratnya mempunyai cela atau kelemahan yang dilakukan (diwariskan) oleh Adam.
Mereka juga berkeyakinan bahwa Isa anak Tuhan berperan sebagai pembebas dan
pemberi bahagia. Ia akan memberi pengampunan sekaligus menolongnya. Maka hanya dengan
jalan pengampunan inilah manusia dapat tertolong agar dapat mencapai tanah
airnya (surga). Anggapan dan keyakinan inilah yang dijadikan dasar pemikiran
filsafatnya.
Faktor Ilmu Pengetahuan
Pada
saat itu telah banyak didirikan lembaga pengajaran yang diupayakan oleh
biara-biara, gereja ataupun dari keluarga istana, dan kepustakaannya diambilkan
dari para penulis Latin, Arab (Islam), dan Yunani.[5]
Masa skolastik terbagi
menjadi tiga periode, yaitu:
1.
Skolastik awal, berlangsung
dari tahun 800-1200;
2.
Skolastik puncak, berlangsung dari tahun 1200-1300;
3.
Skolastik akhir, berlangsung
dari tahun 1300-1450.
1.
Skolastik Awal
Skolastik Awal ditandai oleh
pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang erat antara agama dan
filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia.
Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam
berbagai aliran pemikiran.
Pada periode ini, diupayakan
misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa
berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya, logika
Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan
“metode skolastik” dengan pro-contra mulai berkembang (Petrus Abaelardus
pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini
adalah masalah universalia dengan konfrontasi antara “Realisme” dan
“Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya.
Pengaruh alam pemikiran dari Arab
mempunyai peranan penting bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Pada tahun
800-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para filsuf
dan ilmuwan zaman Yunani Kuno. Kaum intelektual dan kalangan kerajaan Islam
menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Maka,
pada saat para pengikut Islam mendatangi Eropa (melalui Spanyol dan pulau
Sisilia) terjemahan karya-karya filsuf Yunani itu, terutama karya-karya
Aristoteles sampai ke dunia Barat. Dan salah seorang pemikir Islam adalah
Muhammad Ibn Rushdy (1126-1198). Namun jauh sebelum Ibn Rushdy, seorang filsuf
Islam bernama Ibn Sina (980-1037) berusaha membuat suatu sintesis antara aliran
neo-Platonisme dan Aristotelianisme.
Dengan demikian, pada gilirannya
nanti terbukalah kesempatan bagi para pemikir kristiani abad pertengahan untuk
mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh daripada
sebelumnya. Hal ini semakin didukung dengan adanya biara-biara yang antara
lain memang berfungsi menerjemahkan, menyalin, dan memelihara karya sastra.[6]
Pada saat
inilah merupakan zaman baru bagi bangsa Eropa yang ditandai dengan skolastik
yang di dalamnya banyak diupayakan ilmu pengetahuan yang dikembangkan di
sekolah-sekolah. Pada mulanya skolastik ini timbul pertama kalinya di biara
Italia Selatan dan akhirnya sampai berpengaruh ke Jerman dan Belanda.
Diantara
tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut:
1. Augustinus (354-430)
Menurutnya, dibalik keteraturan dan
ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan.
Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa
segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan dari yang tidak ada (creatio ex nihilo).
Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah
cinta pada Tuhan.
2. Boethius (480-524 M)
Dalam usianya yang ke 44 tahun,
mendapat hukuman mati dengan tuduhan berkomplot. Ia dianggap sebagai filosof
akhir Romawi dan filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah menterjemahkan
logika Aristoteles ke dalam bahasa latin dan menulis beberapa traktat logika
Aristoteles. Ia adalah seorang guru logika pada abad pertengahan dan mengarang
beberapa traktat teologi yang dipelajari sepanjang abad pertengahan.
3. Kaisar Karel Agung
Ia memerintah pada awal abad ke-9
yang telah berhasil mencapai stabilitas politik yang besar. Hal ini menyebabkan
perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat. Pendidikan yang dibangunnya
terdiri dari tiga jenis yaitu pendidikan yang digabungkan dengan biara,
pendidikan yang ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang dibangun raja atau
kerabat kerajaan.
4. Santo Anselmus (1033-1109)
Ciri khas filsafat abad pertengahan
ini terletak pada rumusan Santo Anselmus yaitu credo ut intelligam (saya
percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat
rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.
5. Peter Abaelardus (1079-1142)
Eropa membuka kembali kebebasan
berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus. Ia menginginkan kebebasan berpikir
dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus credo ut intelligam dan
merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut credom (saya
paham supaya saya percaya). Peter Abaelardus memberikan status yang lebih
tinggi kepada penalaran dari pada iman.[7]
2.
Skolastik
Puncak
Masa ini merupakan masa kejayaan skolastik yang berlangsung dari tahun
1200-1300 dan masa ini juga disebut masa berbunga. Masa itu ditandai dengan
munculnya universitas-universitas dan
ordo-ordo, yang secara bersama-sama ikut menyelenggarakan atau memajukan ilmu
pengetahuan, disamping juga peranan universitas sebagai sumber atau pusat ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.
Berikut ini beberapa faktor mengapa masa skolastik
mencapai puncaknya.
a.
Adanya pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu
Sina sejak abad ke-12, sehingga sampai abad ke-13 telah tumbuh menjadi ilmu
pengetahuan yang luas.
b. Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Prancis. Universitas ini merupakan gabungan dari beberapa sekolah.
c. Berdirinya ordo-ordo.
Ordo-ordo inilah yang muncul karena banyaknya perhatian orang terhadap ilmu
pengetahuan sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan suasana
yang semarak pada abad ke-13.
Adapun
tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut:
1. Albertus Magnus (1203-1280)
Disamping sebagai biarawan, Albertus Magnus juga terkenal sebagai
cendikiawan abad pertengahan. Ia mempunyai kepandaian yang luar biasa. Di Universitas Padua ia belajar artes
liberals, ilmu-ilmu pengetahuan alam, kedokteran, Filsafat Aristoteles, belajar teologi di
Bologna, dan masuk ordo domican tahun 1223, kemudian masuk ke Koln menjadi dosen filsafat dan teologi.
Terakhir dia diangkat sebagai Uskup Agung. Pola pemikirannya meniru Ibnu Rusyd dalam menulis tentang Aritoteles. Dalam bidang ilmu
pengetahuan, ia mengadakan penelitian dalam ilmu biologi dan ilmu kimia.
2. Thomas Aquinas (1225-1274)
Nama sebenarnya adalah Santo Thomas Aquinas. Yang
artinya Thomas yang suci dari Aquinas. Disamping sebagai ahli pikir, ia juga
seorang dokter gereja bangsa Italia. Menurut pendapatnya, semua kebenaran
asalnya dari tuhan. Kebenaran diungkapkan dengan jalan yang berbeda-beda,
sedangkan ilmu berjalan di luar jangkauan pemikiran. Ia mengimbau bahwa agar
orang-orang untuk mengetahui hukum alamiah (pengetahuan) yang terungkap dalam
kepercayaan. Tidak ada kontradiksi antara pemikiran dan iman. Semua kebenaran
mulai timbul secara ketuhanan walaupun iman diungkapkan lewat beberapa
kebenaran yang berada diluar kekuatan pikiran.
Thomas sendiri menyadari bahwa tidak
dapat menghilangkan unsur-unsur Aristoteles. Bahkan ia menggunakan ajaran
Aristoteles, tetapi sistem pemikirannya berbeda. Masuknya unsur Aristoteles ini
didorong oleh kebijakan pimpinan gereja paus Urbanus V yang memberikan angin
segar untuk kemajuan filsafat. Kemudian Thomas mengadakan langkah-langkah,
yaitu:
Langkah pertama, Thomas menyuruh
teman sealiran Willem van Moerbeke untuk membuat terjemahan baru yang langsung
dari Yunani. Hal ini untuk melawan Aristotelianisme yang berorientasi pada Ibnu
Rusyd, dan upaya ini mendapat dukungan dari Siger van Brabant.
Langkah kedua, pengkristenan ajaran
Aristoteles dari dalam, bagian-bagian yang bertentangan dengan apa yang
dianggap Kristen bertentangan sebagai firman Aristoteles, tetapi diupayakan
selaras dengan ajaran Kristen.
Langkah ketiga, ajaran Aristoteles
yang telah dikristenisasikan dipakai untuk membuat sintesa yang lebih bercorak
ilmiah. Sistem barunya itu untuk menyusun Summa Theologiae.[8]
3.
Skolastik Akhir
Masa Skolastik akhir ditandai dengan
kemalasan berpikir filsafati sehingga menyebabkan stagnasi (kemandegan)
pemikiran filsafat Skolastik Kristen. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Nicolous
Cusasus (1401-1404 M). Dari filsafatnya ia beranggapan bahwa Tuhan adalah
obyek sentral bagi intuisi manusia. Karena menurutnya dengan intuisi manusia
dapat mencapai yang terhingga, obyek tertinggi filsafat, dimana tidak ada
hal-hal yang berlawanan. Dalam diri Tuhan semua hal yang berlawanan mencapai
kesatuan. Semua makhluk berhingga berasal dari Tuhan pencipta, dan segalanya akan
kembali pula pada pencipta-Nya. Nicolous Cusasus sebagai tokoh pemikir yang
berada paling akhir masa Skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara
untuk mengenal, yaitu: lewat indra, akal, dan intuisi. Dengan
indra kita akan mendapat pengetahuan tentang benda berjasad, yang sifatnya tak
sempurna. Dengan akal kita akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang
abstrak berdasarkan pada sajian atau tangkapan indera.[9]
Satu lagi tokoh yang berpengaruh
pada masa skolastik akhir adalah William Ockham (1285-1349). Ia sebagai ahli
pikir Inggris yang menolak ajaran Thomas dan mendalilkan bahwa kenyataan itu
hanya terdapat pada benda-benda satu demi satu, dan hal-hal yang umum itu hanya
tanda-tanda abstrak. Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat
mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual, dan konsep-konsep
umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan. Di samping
itu, ia membantah anggapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin
teologis. Hal ini akan membawa kesulitan dirinya yang pada waktu itu sebagai
penguasanya Paus John XXII. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian
dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka
politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan
dengan gereja dan negara. William Ockham merasa membela agama dengan
menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan
dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan.
D. Perkembangan Filsafat Abad Pertengahan
Pada abad
pertengahan ini perkembangan ilmu mencapai kemajuan yang pesat karena adanya
penerjemahan karya filsafat Yunani klasik ke bahasa Latin, juga penerjemahan
kembali karya para filsuf Yunani oleh bangsa Arab ke bahasa Latin. Karangan
para filsuf Islam menjadi sumber terpenting penerjemahan buku, baik buku
keilmuan maupun filsafat. Diantara karya filsuf Islam yang diterjemahkan antara lain astronomi (Al Khawarizmi), kedokteran
(Ibnu Sina), karya-karya Al Farabi, Al Kindi, dan Al Ghazali.
Fokus pada pengembangan
ilmu melalui sekolah menjadi perhatian dari Raja Charlemagne (Charles I) dengan
pendirian sekolah-sekolah dan perekrutan guru dari Italia, Inggris dan
Irlandia. Sistem pendidikan di sekolah dibagi menjadi tiga tingkat. Pertama,
yakni pengajaran dasar (diwajibkan bagi calon pejabat agama dan terbuka juga
bagi umum). Kedua, diajarkan tujuh ilmu bebas (liberal art) yang dibagi
menjadi dua bagian; a) gramatika, retorika, dan dialektika (trivium), b)
aritmetika, geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Tingkatan ketiga
ialah pengajaran buku-buku suci.
Masa abad
pertengahan adalah masa pembentukan kebudayaan Barat dengan ciri khas ajaran
Masehi (filsafat skolastik) yang diwarnai oleh perkembangan peradaban Kristen.
Peradaban Kristen menjadi dasar bagi kebudayaan masa modern. Peninggalan
kebudayaan abad pertengahan dapat dilihat dari karya seni musik, bangunan
bercorak gothik sebagai bentuk pemujaan terhadap gereja.[10]
[1] Simon Petrus L.
Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm.
102
[2] Rizal
Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. 9,
hlm. 66
[3] Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm.
157
[4] Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm.
156
[5] Muzairi,
Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 91-93
[6] Surajiyo, Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm.
156
[7] Atang Abdul Hakim, Beni
Ahmad Saebani, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
Cet.I, hlm. 73
[8] Muzairi,
Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 95-100
[9] Sadali dan
Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hlm.
99
0 comments:
Post a Comment