Pages

Tuesday, May 3, 2016

FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN DAN MASA SKOLATIK

 FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN DAN MASA SKOLATIK


        A.   Sejarah Filsafat Abad Pertengahan
Sejarah filsafat abad pertengahan dimulai kira-kira pada abad ke-5 sampai awal abad ke-17. Para sejarawan umumnya menentukan tahun 476, yakni masa berakhirnya Kerajaan Romawi Barat yang berpusat di kota Roma dan munculnya Kerajaan Romawi Timur yang kelak berpusat di Konstantinopel (sekarang Istanbul), sebagai data awal zaman abad pertengahan dan tahun 1492 (penemuan benua Amerika oleh Columbus) sebagai data akhirnya.[1]
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama.
Periode abad pertengahan mempunyai perbedaan yang mencolok dengan abad sebelumnya. Perbedaan ini terletak pada dominasi agama. Timbulnya agama kristen pada permulaan abad masehi membawa perubahan besar terhadap kepercayaan agama. Zaman pertengahan adalah zaman keemasan bagi kekristenan.[2] Disinilah yang menjadi persoalannya, karena agama kristen itu mengajarkan bahwa wahyu tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati. Hal ini berbeda dengan pandangan Yunani kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal.[3]

       B.   Ciri Filsafat Abad Pertengahan
Filsafat Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan filsafat. Dilihat secara menyeluruh, filsafat abad pertengahan memang merupakan filsafat Kristiani. Oleh karena itu, kiranya dapat dikatakan bahwa filsafat abad pertengahan adalah suatu filsafat agama dengan agama kristiani sebagai basisnya.
Mengenai sikap terhadap pemikiran Yunani ada dua:
a.       Golongan yang menolak sama sekali pemikiran Yunani, karena pemikiran Yunani merupakan pemikiran orang kafir karena tidak mengakui wahyu.
b.      Menerima filsafat yunani yang mengatakan bahwa karena manusia itu ciptaan Tuhan maka kebijaksanaan manusia berarti pula kebijaksanaan yang datangnya dari Tuhan. Mungkin akal tidak dapat mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, akal dapat dibantu oleh wahyu.[4]

       C.   Masa Skolastik
                   Secara garis besar, filsafat abad pertengahan dapat dibagi menjadi dua periode yaitu Masa Patristik dan Masa Skolastik. Namun disini kami hanya menjelaskan filsafat abad pertengahan masa skolastik sebagai tugas makalah kami.
Istilah skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berarti aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Perkataan skolastik merupakan corak khas dari sejarah filsafat abad pertengahan.
Istilah skolastik pun berasal dari bahasa latin “scholasticus” yang berarti murid, sebagai suatu gerakan filsafat dan keagamaan yang berupaya mengadakan sintesa antara akal budi manusia dengan keimanan. Atau menerapkan metafisika Yunani ke dalam keyakinan Kristiani. Metode yang digunakan ialah disputatio, yaitu membandingkan argumentasi diantara yang pro dan kontra.
Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, yaitu:
a.       Filsafat skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena skolastik ini sebagai bagian dari kebudayaan abad pertengahan yang religius.
b.      Filsafat skolastik adalah filsafat yang mengabdi kepada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan-persoalan mengenai berfikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, serta baik dan buruk.Dari rumusan tersebut kemudian muncul istilah: skolastik Yahudi, skolastik Arab dan lain-lainnya.
c.       Filsafat skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan ke dalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal.
d.      Filsafat skolastik adalah fisafat Nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh gereja.
Adapun filsafat skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor, yaitu:
Faktor Religius
            Faktor religius dapat mempengaruhi corak pemikiran filsafatnya. Yang dimaksud dengan faktor religius adalah keadaan lingkungan saat itu yang berperikehidupan religius. Mereka beranggapan bahwa hidup di dunia ini suatu perjalanan ke tanah suci Yerusalem. Dunia ini bagaikan negeri asing, dan sebagai tempat pembuangan limbah air mata saja (tempat kesedihan). Sebagai dunia yang menjadi tanah airnya adalah surga. Manusia tidak dapat sampai ke tanah airnya (surga) dengan kemampuannya sendiri, sehingga harus ditolong. Karena manusia itu menurut sifat kodratnya mempunyai cela atau kelemahan yang dilakukan (diwariskan) oleh Adam. Mereka juga berkeyakinan bahwa Isa anak Tuhan berperan sebagai pembebas dan pemberi bahagia. Ia akan memberi pengampunan sekaligus menolongnya. Maka hanya dengan jalan pengampunan inilah manusia dapat tertolong agar dapat mencapai tanah airnya (surga). Anggapan dan keyakinan inilah yang dijadikan dasar pemikiran filsafatnya.
Faktor Ilmu Pengetahuan
            Pada saat itu telah banyak didirikan lembaga pengajaran yang diupayakan oleh biara-biara, gereja ataupun dari keluarga istana, dan kepustakaannya diambilkan dari para penulis Latin, Arab (Islam), dan Yunani.[5]
Masa skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.      Skolastik awal, berlangsung dari tahun 800-1200;
2.      Skolastik puncak, berlangsung dari tahun 1200-1300;
3.      Skolastik akhir, berlangsung dari tahun 1300-1450.
           1.      Skolastik Awal
Skolastik Awal ditandai oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang erat antara agama dan filsafat. Yang tampak pada permulaan ialah persoalan tentang universalia. Ajaran Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang luas dan kuat dalam berbagai aliran pemikiran.
Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya, logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan pro-contra mulai berkembang (Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masalah  universalia dengan konfrontasi antara “Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya.
Pengaruh alam pemikiran dari Arab mempunyai peranan penting bagi perkembangan filsafat selanjutnya. Pada tahun 800-1200, kebudayaan Islam berhasil memelihara warisan karya-karya para filsuf dan ilmuwan zaman Yunani Kuno. Kaum intelektual dan kalangan kerajaan Islam menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Maka, pada saat para pengikut Islam mendatangi Eropa (melalui Spanyol dan pulau Sisilia) terjemahan karya-karya filsuf Yunani itu, terutama karya-karya Aristoteles sampai ke dunia Barat. Dan salah seorang pemikir Islam adalah Muhammad Ibn Rushdy (1126-1198). Namun jauh sebelum Ibn Rushdy, seorang filsuf Islam bernama Ibn Sina (980-1037) berusaha membuat suatu sintesis antara aliran neo-Platonisme dan Aristotelianisme.
Dengan demikian, pada gilirannya nanti terbukalah kesempatan bagi para pemikir kristiani abad pertengahan untuk mempelajari filsafat Yunani secara lebih lengkap dan lebih menyeluruh daripada sebelumnya. Hal ini semakin  didukung dengan adanya biara-biara yang antara lain memang berfungsi menerjemahkan, menyalin, dan memelihara karya sastra.[6]
Pada saat inilah merupakan zaman baru bagi bangsa Eropa yang ditandai dengan skolastik yang di dalamnya banyak diupayakan ilmu pengetahuan yang dikembangkan di sekolah-sekolah. Pada mulanya skolastik ini timbul pertama kalinya di biara Italia Selatan dan akhirnya sampai berpengaruh ke Jerman dan Belanda.
Diantara tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut:
1. Augustinus (354-430)
Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan dari yang tidak ada (creatio ex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.
2. Boethius (480-524 M)
Dalam usianya yang ke 44 tahun, mendapat hukuman mati dengan tuduhan berkomplot. Ia dianggap sebagai filosof akhir Romawi dan filosof pertama Skolastik. Jasanya adalah menterjemahkan logika Aristoteles ke dalam bahasa latin dan menulis beberapa traktat logika Aristoteles. Ia adalah seorang guru logika pada abad pertengahan dan mengarang beberapa traktat teologi yang dipelajari sepanjang abad pertengahan.
3. Kaisar Karel Agung
Ia memerintah pada awal abad ke-9 yang telah berhasil mencapai stabilitas politik yang besar. Hal ini menyebabkan perkembangan pemikiran kultural berjalan pesat. Pendidikan yang dibangunnya terdiri dari tiga jenis yaitu pendidikan yang digabungkan dengan biara, pendidikan yang ditanggung keuskupan, dan pendidikan yang dibangun raja atau kerabat kerajaan.
4. Santo Anselmus (1033-1109)
Ciri khas filsafat abad pertengahan ini terletak pada rumusan Santo Anselmus yaitu credo ut intelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari pada iman.
5. Peter Abaelardus (1079-1142)
Eropa membuka kembali kebebasan berpikir yang dipelopori oleh Peter Abelardus. Ia menginginkan kebebasan berpikir dengan membalik diktum Augustinus-Anselmus credo ut intelligam dan merumuskan pandangannya sendiri menjadi intelligo ut credom (saya paham supaya saya percaya). Peter Abaelardus memberikan status yang lebih tinggi kepada penalaran dari pada iman.[7]
           2.      Skolastik Puncak
Masa ini merupakan masa kejayaan skolastik yang berlangsung dari tahun 1200-1300 dan masa ini juga disebut masa berbunga. Masa itu ditandai dengan munculnya universitas-universitas dan ordo-ordo, yang secara bersama-sama ikut menyelenggarakan atau memajukan ilmu pengetahuan, disamping juga peranan universitas sebagai sumber atau pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Berikut ini beberapa faktor mengapa masa skolastik mencapai puncaknya.
a.       Adanya pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina sejak abad ke-12, sehingga sampai abad ke-13 telah tumbuh menjadi ilmu pengetahuan yang luas.
b. Tahun 1200 didirikan  Universitas Almamater di Prancis. Universitas ini merupakan gabungan dari beberapa sekolah.
c. Berdirinya ordo-ordo. Ordo-ordo inilah yang muncul karena banyaknya perhatian orang terhadap ilmu pengetahuan sehingga menimbulkan dorongan yang kuat untuk memberikan suasana yang semarak pada abad ke-13.
Adapun tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut:
1. Albertus Magnus (1203-1280)
Disamping sebagai biarawan, Albertus Magnus juga terkenal sebagai cendikiawan abad pertengahan. Ia mempunyai kepandaian yang luar biasa. Di Universitas Padua ia belajar artes liberals, ilmu-ilmu pengetahuan alam, kedokteran, Filsafat Aristoteles, belajar teologi di Bologna, dan masuk ordo domican tahun 1223, kemudian masuk ke Koln menjadi dosen filsafat dan teologi.
Terakhir dia diangkat sebagai Uskup Agung. Pola pemikirannya meniru Ibnu Rusyd dalam menulis tentang Aritoteles. Dalam bidang ilmu pengetahuan, ia mengadakan penelitian dalam ilmu biologi dan ilmu kimia.
2. Thomas Aquinas (1225-1274)
Nama sebenarnya adalah Santo Thomas Aquinas. Yang artinya Thomas yang suci dari Aquinas. Disamping sebagai ahli pikir, ia juga seorang dokter gereja bangsa Italia. Menurut pendapatnya, semua kebenaran asalnya dari tuhan. Kebenaran diungkapkan dengan jalan yang berbeda-beda, sedangkan ilmu berjalan di luar jangkauan pemikiran. Ia mengimbau bahwa agar orang-orang untuk mengetahui hukum alamiah (pengetahuan) yang terungkap dalam kepercayaan. Tidak ada kontradiksi antara pemikiran dan iman. Semua kebenaran mulai timbul secara ketuhanan walaupun iman diungkapkan lewat beberapa kebenaran yang berada diluar kekuatan pikiran.
Thomas sendiri menyadari bahwa tidak dapat menghilangkan unsur-unsur Aristoteles. Bahkan ia menggunakan ajaran Aristoteles, tetapi sistem pemikirannya berbeda. Masuknya unsur Aristoteles ini didorong oleh kebijakan pimpinan gereja paus Urbanus V yang memberikan angin segar untuk kemajuan filsafat. Kemudian Thomas mengadakan langkah-langkah, yaitu:
Langkah pertama, Thomas menyuruh teman sealiran Willem van Moerbeke untuk membuat terjemahan baru yang langsung dari Yunani. Hal ini untuk melawan Aristotelianisme yang berorientasi pada Ibnu Rusyd, dan upaya ini mendapat dukungan dari Siger van Brabant.
Langkah kedua, pengkristenan ajaran Aristoteles dari dalam, bagian-bagian yang bertentangan dengan apa yang dianggap Kristen bertentangan sebagai firman Aristoteles, tetapi diupayakan selaras dengan ajaran Kristen.
Langkah ketiga, ajaran Aristoteles yang telah dikristenisasikan dipakai untuk membuat sintesa yang lebih bercorak ilmiah. Sistem barunya itu untuk menyusun Summa Theologiae.[8] 
           3.      Skolastik Akhir
Masa Skolastik akhir ditandai dengan kemalasan berpikir filsafati sehingga menyebabkan stagnasi (kemandegan) pemikiran filsafat Skolastik Kristen. Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Nicolous Cusasus (1401-1404 M). Dari filsafatnya ia beranggapan bahwa Tuhan adalah obyek sentral bagi intuisi manusia. Karena menurutnya dengan intuisi manusia dapat mencapai yang terhingga, obyek tertinggi filsafat, dimana tidak ada hal-hal yang berlawanan. Dalam diri Tuhan semua hal yang berlawanan mencapai kesatuan. Semua makhluk berhingga berasal dari Tuhan pencipta, dan segalanya akan kembali pula pada pencipta-Nya. Nicolous Cusasus sebagai tokoh pemikir yang berada paling akhir masa Skolastik. Menurut pendapatnya, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu: lewat indra, akal, dan intuisi. Dengan indra kita akan mendapat pengetahuan tentang benda berjasad, yang sifatnya tak sempurna. Dengan akal kita akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasarkan pada sajian atau tangkapan indera.[9]
Satu lagi tokoh yang berpengaruh pada masa skolastik akhir adalah William Ockham (1285-1349). Ia sebagai ahli pikir Inggris yang menolak ajaran Thomas dan mendalilkan bahwa kenyataan itu hanya terdapat pada benda-benda satu demi satu, dan hal-hal yang umum itu hanya tanda-tanda abstrak. Menurut pendapatnya, pikiran manusia hanya dapat mengetahui barang-barang atau kejadian-kejadian individual, dan konsep-konsep umum tentang alam hanya merupakan abstraksi buatan tanpa kenyataan. Di samping itu, ia membantah anggapan skolastik bahwa logika dapat membuktikan doktrin teologis. Hal ini akan membawa kesulitan dirinya yang pada waktu itu sebagai penguasanya Paus John XXII. Karenanya, ia tidak begitu disukai dan kemudian dipenjarakan oleh Paus. Namun, ia berhasil meloloskan diri dan meminta suaka politik kepada Kaisar Louis IV, sehingga ia terlibat konflik berkepanjangan dengan gereja dan negara. William Ockham merasa membela agama dengan menceraikan ilmu dari teologi. Tuhan harus diterima atas dasar keimanan, bukan dengan pembuktian, karena kepercayaan teologis tidak dapat didemonstrasikan.

       D.      Perkembangan Filsafat Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan ini perkembangan ilmu mencapai kemajuan yang pesat karena adanya penerjemahan karya filsafat Yunani klasik ke bahasa Latin, juga penerjemahan kembali karya para filsuf Yunani oleh bangsa Arab ke bahasa Latin. Karangan para filsuf Islam menjadi sumber terpenting penerjemahan buku, baik buku keilmuan maupun filsafat. Diantara karya filsuf Islam yang diterjemahkan antara lain astronomi (Al Khawarizmi), kedokteran (Ibnu Sina), karya-karya Al Farabi, Al Kindi, dan Al Ghazali.
Fokus pada pengembangan ilmu melalui sekolah menjadi perhatian dari Raja Charlemagne (Charles I) dengan pendirian sekolah-sekolah dan perekrutan guru dari Italia, Inggris dan Irlandia. Sistem pendidikan di sekolah dibagi menjadi tiga tingkat. Pertama, yakni pengajaran dasar (diwajibkan bagi calon pejabat agama dan terbuka juga bagi umum). Kedua, diajarkan tujuh ilmu bebas (liberal art) yang dibagi menjadi dua bagian; a) gramatika, retorika, dan dialektika (trivium), b) aritmetika, geometri, astronomi dan musik (quadrivium). Tingkatan ketiga ialah pengajaran buku-buku suci.
Masa abad pertengahan adalah masa pembentukan kebudayaan Barat dengan ciri khas ajaran Masehi (filsafat skolastik) yang diwarnai oleh perkembangan peradaban Kristen. Peradaban Kristen menjadi dasar bagi kebudayaan masa modern. Peninggalan kebudayaan abad pertengahan dapat dilihat dari karya seni musik, bangunan bercorak gothik sebagai bentuk pemujaan terhadap gereja.[10]




[1] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 102
[2] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009) cet. 9, hlm. 66
[3] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm. 157
[4] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm. 156
[5] Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 91-93
[6] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005) cet. I, hlm. 156
[7] Atang Abdul Hakim, Beni Ahmad Saebani,  Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet.I, hlm. 73
[8] Muzairi, Filsafat Umum, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 95-100
[9] Sadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. I, hlm. 99
[10] A. Hanafi, Filsafat Skolastik,  (Jakarta: Alhusna, 1983), hlm. 82

0 comments:

Post a Comment